Rabu, 22 September 2010

Asal Mula Kapur, Sirih, dan Pinang

Alkisah, di sebuah daerah di Vietnam, hidup sepasang suami-istri bersama dua anak lelaki kembarnya yang bernama Tang dan Lan. Saudara kembar itu sama-sama tampan dan pandai. Hidung mereka mancung dan mata mereka bulat bersinar. Keduanya hidup saling menyayangi. Ke mana pun pergi, mereka selalu bersama.

Suatu hari, ayah Tang dan Lan sakit keras. Sudah banyak tabib yang mengobatinya, namun sakitnya tidak kunjung sembuh, dan akhirnya meninggal dunia. Seluruh anggota keluarga itu bersedih hati, terutama ibu Tang dan Lan. Oleh karena rasa sedih yang mendalam, ibu Tang dan Lan tidak mau makan hingga jatuh sakit. Tak lama berselang, sang Ibu pun meninggal dunia. Maka, tinggallah Tang dan Lan berdua sebagai yatim piatu.

Walaupun kedua orang tua mereka telah tiada, Tang dan Lan tetap memiliki semangat untuk hidup. Oleh karena sudah tidak memiliki sanak keluarga di kampung, mereka pun memutuskan hendak pergi ke kota untuk mencari sahabat karib ayahnya yang bernama Hakim Luu, dengan harapan, Hakim Luu dapat membantu mencarikan pekerjaan untuk mereka.

Setelah mempersiapkan segala keperluan, mereka pun berangkat ke kota. Sesampainya di kota, mereka bertanya kesana-kemari untuk mencari alamat rumah Hakim Luu, karena mereka belum pernah ke kota itu sebelumnya. Setelah beberapa lama mencari, akhirnya mereka pun menemukan rumah Hakim Luu.

”Bang, benar. Ini rumah Paman Luu,” kata Lan kepada Tang sambil menunjuk papan nama yang melekat di pintu rumah itu.

”Tok...! Tok...! Tok...! Permisi...!!!” seru Tang sambil mengetuk pintu.

”Ya... sebentar!” terdengar suara dari dalam rumah.

Tidak berapa lama, tampak seorang laki-laki tinggi gemuk membuka pintu. Di belakangnya tampak seorang gadis kecil berkulit putih sedang mengintip.

”Eeeh... Nak Tang dan Nak Lan! Mari silahkan masuk!” sambut Hakim Luu.

”Terima kasih, Paman!” ucap Tang dan Lan.

Sebelum mempersilahkan duduk, Hakim Luu terlebih dahulu memperkenalkan putrinya kepada mereka. Putri Hakim Luu adalah gadis kecil yang cerdas, tapi pemalu. Saat berkenalan dengan Tang dan Lan, pipinya memerah.

”Bagaimana kalian bisa sampai kemari?” tanya Hakim Luu.

Mendengar pertanyaan itu, Tang dan Lan saling berpandangan.

”Sepertinya kalian sedang ada masalah. Ada apa, Nak?” tanya Hakim Luu.

”Iya, Paman. Kami sedang sedih. Dua minggu yang lalu ayah kami meninggal dunia karena sakit,” jawab Tang dengan nada sedih.

”Hah, meninggal dunia! Kenapa kalian tidak memberi kabar?” tanya Hakim Luu dengan terkejut.

”Lalu, bagaimana dengan ibu kalian?” tambahnya dengan perasaan cemas.

”Begini, Paman. Sepeninggal ayah, ibu tidak mau makan hingga jatuh sakit. Beberapa hari kemudian, ibu pun menyusul kepergian ayah,” cerita Tang.

”Paman turut berduka cita atas meninggalnya orang tua kalian. Paman tahu kalian tidak memiliki siapa-siapa lagi. Jadi, kalian boleh tinggal di rumah ini bersama kami,” kata Hakim Luu.

“Terima kasih, Paman!” jawab Tang dan Lan serentak.

Sejak itu, Tang dan Lan tinggal di rumah Hakim Luu. Mereka rajin dan tekun membantu Hakim Luu berjualan di toko. Hakim Luu menyayangi mereka seperti anak kandungnya sendiri.

Waktu terus berjalan. Tang dan Lan tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan pandai. Tingkah laku dan sopan santunnya memikat hati semua orang. Putri Hakim Luu pun tumbuh dewasa dan semakin cantik menawan. Rupanya, Tang dan Lan diam-diam menaruh perhatian pada putri Hakim Luu yang pemalu itu. Namun, mereka malu dan tidak berani mengutarakannya.

Pada suatu hari, timbul niat di hati Hakim Luu untuk menikahkan salah seorang dari mereka dengan putrinya. Namun, ia tidak dapat menentukan siapa yang akan dipilihnya, karena mereka memiliki paras dan perangai yang serupa. Akhirnya, ia mengajak kedua saudara kembar itu untuk bermusyawarah.

”Begini, Nak! Paman berniat menikahkan putriku. Tapi, paman masih bingung untuk memilih salah seorang di antara kalian,” ungkap Hakim Luu.

”Dengan Tang saja, Paman!” sahut Lan.

”Tidak, Paman! Lan saja!” sanggah Tang.

Hakim Luu pun semakin bingung melihat kedua saudara kembar itu saling menunjuk. Ia harus memilih salah seorang di antara mereka. Untuk itu, Hakim Luu ingin mengetahui siapa di antara keduanya yang lebih tua dan yang berhak menikahi putrinya. Ia kemudian meminta kepada putrinya untuk menyediakan semangkuk makanan dan sepasang sumpit di depan Tang dan Lan. Saat Hakim Luu mempersilahkan kepada mereka untuk bersantap, Lan langsung mengambil sumpit itu, lalu menyerahkannya kepada Tang dengan sopan. Tang pun menerimanya. Melihat hal itu, tahulah Hakim Luu bahwa Tang adalah yang lebih tua. Maka, Tang lah yang terpilih menjadi menantunya.

Pesta pernikahan mereka pun dilaksanakan dengan meriah. Berbagai pertunjukan seni dan tari dipentaskan. Undangan datang dari berbagai negeri. Bahkan banyak pembesar kerajaan yang datang ke pesta itu. Para undangan ikut berbahagia menyaksikan pasangan pengantin itu sedang duduk bersanding di pelaminan.

Kehidupan pengantin muda itu sangat berbahagia. Tang sering mengarang syair-syair percintaan dan menyanyikannya untuk melukiskan rasa kebahagiaannya. Oleh karena terlalu asyiknya dengan kehidupan rumah tangga barunya, Tang melupakan Lan. Ia tidak pernah lagi bercerita dan duduk mengobrol dengan adiknya itu. Pada awalnya Lan memakluminya. Namun, semakin hari sikap Tang semakin tidak peduli lagi kepadanya, sehingga Lan merasa kesepian.

“Begitu malangnya nasibku. Abang pun sudah melupakan aku. Apalah gunanya berada di sini jika tidak pernah disapa sama sekali,” ucap Lan dengan sedihnya.

Lan kemudian bertekad mengembara seorang diri untuk menghilangkan kesedihannya. Ia pun meninggalkan kota itu tanpa sepengetahuan Tang dan keluarga Hakim Luu. Ia berjalan tanpa arah dan tujuan, mengikuti ke mana arah kakinya melangkah. Sudah banyak hutan ia lewati, gunung ia daki, dan sungai ia seberangi, namun kesedihannya tidak juga hilang dari hatinya.

Suatu hari, saat hari mulai gelap, sampailah ia di sebuah pantai yang indah dan sejuk. Lan mencari-cari tempat untuk bermalam, namun tidak menemukan tempat untuk berlindung. Perutnya pun terasa sangat lapar, karena sudah beberapa hari tidak terisi oleh makanan sedikit pun. Semakin lama, tubuhnya pun semakin lemah, dan akhirnya meninggal dunia di tempat itu. Konon, mayat Lan berubah menjadi sebuah batu kapur yang putih.

Sementara itu, Tang yang menyadari adiknya telah pergi dari rumah merasa sangat menyesal. Dengan perasaan sedih dan pilu, ia pergi mencari adiknya. Setelah berjalan melalui hutan lebat, mendaki gunung, dan menyeberangi sungai, sampailah ia di pantai tempat adiknya meninggal dunia. Oleh karena terlalu letih, ia pun duduk di pantai sambil menyaksikan deburan ombak.

”Lan, adikku! Kamu di mana? Aku sangat menyesal karena telah mengabaikanmu,” ucap Tang sambil menangis tersedu-sedu.

Selama dua hari dua malam Tang duduk di pantai itu sambil menangis tiada henti. Ia juga tidak makan dan minum, sehingga jatuh sakit. Akhirnya ia pun meninggal dunia di tempat itu, dan mayatnya berubah menjadi pohon pinang.

Sementara itu isteri Tang sudah jenuh menunggu kepulangan suaminya. Ia pun pergi mencari suaminya yang sangat dikasihinya. Ia terus berjalan tanpa mengenal lelah hingga akhirnya sampai pula di pantai tempat suaminya meninggal. Oleh karena terlalu letih, ia pun duduk bersandar di pohon pinang di tepi pantai itu sambil menangis tanpa henti. Lama-kelamaan tubuhnya menjadi lemah tidak berdaya, dan akhirnya meninggal dunia. Mayatnya berubah menjadi pohon sirih dan melilit di pohon pinang yang tidak lain adalah jelmaan suaminya sendiri.

* * *

Demikian cerita Asal Mula Kapur, Sirih, dan Pinang dari Vietnam. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk setempat mendirikan sebuah rumah ibadat di pantai itu, agar kasih sayang mereka yang tulus dapat ditiru. Di kalangan masyakat Melayu Vietnam, kapur, sirih dan pinang menjadi lambang kasih sayang.

Cerita di atas termasuk kategori cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat kasih sayang dan akibat yang ditimbulkan sifat terlena dalam kebahagiaan.

Pertama, sifat kasih sayang. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Tang dan istrinya yang rela berjalan jauh untuk mencari orang-orang yang mereka sayangi. Namun, ada sebuah pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa tersebut bahwa jika mencintai atau menyayangi seseorang hendaknya tidak berlebihan, sehingga lepas kendali dan membahayakan jiwanya. Dalam kehidupan Melayu, sifat kasih sayang memang diutamakan, tapi dalam batas kewajaran. Dikatakan dalam untaian syair:
wahai ananda dengarlah peri,
berkasih sayang sifat terpuji
pandai-pandailah menjaga diri
hati orang jangan disakiti

Kedua, akibat yang ditimbulkan dari sifat terlena dalam kebahagiaan. Sifat ini digambarkan oleh sikap dan perilaku Tang yang terlena dalam kehidupan rumah tangganya, sehingga ia mengabaikan adik kandungnya sendiri. Akibatnya, adiknya pergi meninggalkannya, karena merasa kesepian. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga dapat menyebabkan seseorang lupa kepada saudara dan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar