I. Bellerophon, pahlawan dari Korinthos
Bellerophon adalah putra Glaukus, raja Korinthos, dan terlahir dengan nama Hipponus. Tetapi saat ia membunuh bandit kejam bernama Bellerus di masa mudanya, semua orang melupakan nama aslinya dan memanggilnya dengan nama Bellerophon, yang berarti si “pembunuh Bellerus.”
Semua penduduk kota memuji tindakan sang pahlawan, tetapi sang dewa perang, Ares, tidak menyukainya dan menuntut pemuda itu dihukum. Bellerophon kemudian diasingkan dari Korinthos dan tiba di Tyrins yang saat itu diperintah oleh Prutus, putra Abas. Prutus menyambut Bellerophon dengan hangat dan menerimanya di kota itu. Untuk membalas budi sang raja, Bellerophon mengabdi di Tyrins dan melakukan tugas-tugas yang diberikan dengan baik sehingga raja Tyrins itu pun kagum padanya.
Namun sialnya, Bellerophon dianugerahi wajah setampan para dewa hingga mencuri perhatian sang ratu Tyrins, Stenebua, istri Prutus. Semakin hari rasa suka Stenebua bertambah besar hingga suatu hari, saat Prutus tidak ada, ia menyatakan perasaan penuh cintanya itu kepada Bellerophon. Tetapi sang pahlawan tidak menanggapinya. Bagaimana mungkin ia dapat menerima cinta sang ratu sementara ia berkhianat pada Prutus yang telah memberinya tempat bernaung selama ini? Bahkan dalam pikirannya yang paling dalam sang pahlawan tidak pernah berniat melakukan perbuatan khianat seperti itu.
Stenebua yang mendapat penolakan dari Bellerophon berbalik dari semula mencintai menjadi membenci pemuda tampan itu. Saat Prutus kembali ke Tyrins, Stenebua mengadu bahwa Bellerophon telah merayunya dan berusaha memperkosanya.
Prutus terperanjat kaget, sama sekali tidak mengira, pemuda yang telah ia percayai itu telah berbuat keji, tetapi ia percaya pada kata-kata istrinya dan bellerophon harus dibunuh atas perbuatan memalukan itu. Tetapi karena sang raja tidak ingin membunuh dengan tangannya sendiri, ia menulis surat untuk ayah Stenebua, raja Iobates dari Lykia yang isinya: “Pembawa surat ini mencoba menodai putrimu. Bunuhlah dia.”
Ia menyegel surat itu dengan hati-hati lalu memanggil Bellerophon dan menyuruhnya pergi ke Lykia untuk menyerahkan surat itu kepada Iobates. Tanpa curiga, Bellerophon menerima surat itu dan berangkat menuju Lykia.
Di Lykia, begitu tahu Bellerophon diutus oleh menantunya sendiri, raja Iobates sangat senang dan tanpa membuka surat dari Prutus terlebih dahulu, ia menyambut pemuda itu dengan pesta meriah selama sembilan hari sembilan malam. Baru pada hari kesepuluh, Iobates teringat pada surat yang dibawa oleh Bellerophon.
Ia membuka segel surat itu dan membaca sebaris kalimat yang tertulis di dalamnya… Segera senyuman lenyap dari bibirnya, darahnya menggelegak dan mukanya merah padam. Pemuda yang ia telah sambut dengan pesta besar selama sembilan hari adalah orang yang berusaha memperkosa putrinya!
Tetapi seperti halnya Prutus, Iobates juga tidak ingin membunuh Bellerophon karena adat keramah tamahan dalam menyambut tamu melarang hal itu. Maka ia memberikan tugas yang sangat berbahaya kepada Bellerophon dengan harapan ia akan terbunuh dalam tugasnya itu. Iobates meminta Bellerophon untuk memburu Khimaira dan membunuhnya.
Khimaira adalah monster mengerikan yang hidup di Lykia dan memiliki tiga buah kepala yang berbeda. Monster ini memiliki kepala singa di depan tubuhnya, kepala kambing di punggungnya dan kepala naga di ekornya. Dari ketiga kepala ini yang paling berbahaya adalah kepala kambing yang bisa menyemburkan api dari mulutnya. Tak kuasa untuk menolak permintaan sang raja, Bellerophon menyanggupi melaksanakan tugas itu.
Tapi bagaimana ia bisa mengalahkan monster itu? Bellerophon kemudian meminta nasehat pada seorang peramal bijak, Polyedus, yang memberi tahu bahwa Khimaira hanya bisa dibunuh oleh orang yang dapat mengendarai Pegasus, kuda bersayap putra Poseidon yang lahir dari kepala Medusa yang dipenggal oleh Perseus. Sayangnya, tak seorangpun manusia mengetahui keberadaan Pegasus karena kuda itu memang menghindari manusia. Hanya dewi-dewi Musae, putri-putri Zeus, yang konon mengetahui dimana Pegasus berada. Mereka tinggal di Gunung Helikon yang berhutan lebat dan kesanalah Bellerophon pergi untuk menemui dewi-dewi Musae.
Setelah menembus kerimbunan hutan, Bellerophon mendengar suara seperti nyanyian dan ia mendekati sumber suara tersebut. Di sebuah mata air di bagian hutan paling dalam, ia berhasil menjumpai tiga dewi Musae dan mengutarakan maksudnya. Sayang ia sedikit terlambat, karena menurut dewi-dewi itu, Pegasus baru saja pergi dari hutan itu setelah ia membuat mata air dengan kuku-kuku kakinya (sampai saat ini di hutan Helikon ada sebuah mata air yang diberi nama Mata Air Kuda yang konon dibuat oleh kaki-kaki Pegasus-pen).
“Pergilah ke Akrokorinthos, di dalam hutannya ada sebuah mata air yang bernama Mata Air Pyrene dan Pegasus sedang berada disana. Tetapi berhati-hatilah, Pegasus tidak akan membiarkan setiap manusia mendekatinya, apalagi menungganginya,” demikianlah saran dari dewi-dewi Musae
Setelah berterimakasih kepada dewi-dewi Musae, Bellerophon berangkat ke Akrokoronthos. Dalam perjalanan, ia melewati kuil Athena dan berdoa kepada sang dewi agar ia dibantu untuk menemukan dan menunggangi Pegasus. Karena hari sudah menjelang malam, sang pahlawan memutuskan untuk bermalam di dekat kuil dan jatuh tertidur beberapa saat kemudian. Ia bermimpi berjumpa dengan Athena sendiri yang menggenggam tali kekang kuda berwarna emas.
“Bellerophon putra Poseidon,” Athena memanggil pemuda itu.
“Tetapi aku bukan putra Poseidon, “ jawab Bellerophon.
“Bellerophon putra Poseidon, “ulang Athena,” Pegasus adalah saudaramu, karena ia adalah putra Poseidon sepertimu. Tetapi walaupun kalian bersaudara tidak berarti kau akan mudah untuk menundukkannya. Setelah kau jinakkan, kalungkan tali kekang kuda ini di lehernya, maka ia akan menuruti perintahmu.”
Setelah berkata-kata Athena lenyap dan Bellerophon terbangun dari mimpinya. Ia sangat kecewa begitu tahu itu semua hanya mimpi. Tetapi saat ia berdiri, ia melihat sebuah tali kekang kuda berwarna emas di tempat ia tidur semalam. Dengan gembira karena permohonannya dikabulkan Athena, ia melanjutkan perjalanan sampai ke Mata Air Pyrene di Akrokorinthos.
Di lokasi itu, Bellerophon bersembunyi di balik semak dan menanti kedatangan Pegasus. Tak berapa lama, dari langit terdengar suara kepak sayap yang aneh. Bellerophon refleks mendongakkan kepalanya dan dengan takjub ia melihat seekor kuda bersayap seputih salju terbang di angkasa dengan anggun…
II. Bellerophon dan Pegasus
Bellerophon telah sampai di mata air Pyrene dan bersembunyi di balik semak saat seekor kuda putih bersayap mendarat persis di depan tempat persembunyiannya. Pegasus, kuda bersayap itu, tidak melihat Bellerophon, tetapi mencium ada manusia di dekatnya. Ia melihat sekeliling dengan gelisah, meringkik buas dan membuka sayapnya lebar-lebar. Bellerophon menunggu Pegasus diam, tetapi kuda itu tidak menunjukkan tanda-tanda menjadi tenang .
Ia lalu mengambil sebuah batu dan melemparkannya melewati punggung Pegasus. Pegasus terkecoh dan menengok kearah jatuhnya batu itu. Saat itu pula, secepat kilat Bellerophon keluar dari semak-semak dan langsung mengalungkan tali kekang pemberian Athena di leher Pegasus sebelum ia sempat bergerak. Sang kuda terkejut, tetapi setelah melihat Bellerophon, ia menjadi jinak dan meringkik bersahabat. Sang pahlawan mengelus leher Pegasus dengan lembut dan menuntunnya untuk minum bersama di mata air Pyrene.
Kemudian Bellerophon naik ke atas punggung Pegasus dan dengan sedikit sentakan sang kuda mengepakkan kedua sayapnya yang besar, membawa Bellerophon melesat ke angkasa. Bellerophon sangat takjub dan ini sungguh pengalaman yang luar biasa dalam hidup sang pahlawan. Ia melihat Bumi di bawah dengan rangkaian gunung-gunung berhutan, sungai-sungai yang berkilau di bawah matahari dan lautan yang dihiasi pulau-pulau. Bellerophon merasakan kekuatan dewa berada di dalam dirinya.
Tak butuh waktu lama bagi Bellerophon dan Pegasus untuk mencapai Lykia. Dari atas punggung Pegasus, Bellerophon menjelajah seluruh wilayah Lykia untuk mencari dimana Khimaira bersarang. Saat ia menemukan hamparan tanah yang gundul dan penuh tulang belulang berserakan, Bellerophon menuntun Pegasus untuk terbang lebih rendah agar bisa melihat dengan jelas.
Saat ia sedang mengamati, tiba-tiba Bellerophon dikejutkan dengan kemunculan Khimaira yang begitu melihat makhluk asing langsung menyemburkan api ke arah Bellerophon. Tetapi dengan sigap, Bellerophon terbang lebih tinggi sehingga ia tidak terjangkau jilatan api Khimaira. Monster mengerikan berkepala tiga itu meraung panjang dan kepala naga di ekornya mendesis liar. Sekali lagi, kepala kambing Khimaira menyemburkan api, tetapi sang pahlawan sudah berada di luar jangkauan api Khimaira.
Kini Bellerophon mengambil anak panah, memasang di busurnya dan membidik monster itu. Dengan cekatan ia melepaskan anak panah dan tepat mengenai tubuh Khimaira yang meraung kesakitan. Tetapi monster itu hanya bisa berputar-putar tanpa sanggup membalas. Bellerophon tak mau kehilangan buruannya, ia terus memanah Khimaira hingga monster itu kehabisan darah dan mati tersungkur di tanah. Bellerophon akhirnya berhasil mengalahkan Khimaira dan kembali ke istana Iobates.
Ketika Iobates melihat Bellerophon kembali hidup-hidup, ia menyusun rencana lain untuk menyingkirkan pemuda itu. Ia mengutus sang pahlawan menumpas gerombolan bandit kejam dari Gunung Tmolos. Tetapi Bellerophon berhasil membunuh semua anggota gerombolan itu dan kembali ke Lykia dengan selamat. Sang raja kembali mengutus Bellerophon untuk berperang melawan prajurit-prajurit wanita Amazon yang tak terkalahkan, tetapi sekali lagi Bellerophon menunaikan tugasnya dengan baik dan tetap hidup.
Raja Iobates tak kehilangan akal. Ia menyuruh sekumpulan prajurit Xanthia yang paling ditakuti untuk menyergap dan membunuh Bellerophon. Di saat sang pahlawan sedang berjalan-jalan sendirian di tepian sungai Xanthus, tiba-tiba prajurit-prajurit Xanthia muncul dan siap menyerangnya. Bellerophon yang berada dalam situasi genting, teringat kata-kata Athena yang pernah memanggilnya “putra Poseidon”. Ia lalu berseru memanggil nama sang dewa laut untuk membantunya dan sesuatu yang ajaib terjadi.
Atas perintah Poseidon, air sungai Xanthus naik, keluar dari jalurnya dan mengalir di belakang langkah Bellerophon. Saat Bellerophon maju, air sungai itu juga maju dan saat ia berhenti, air sungai pun ikut berhenti. Riak-riak air berkecipak di bawah kaki sang pahlawan dan hal ini membuat takut prajurit-parjurit Xanthia yang sebelumnya tak pernah gentar menghadapi apapun. Mereka kabur kocar-kacir, berlarian kearah kota mereka. Bellerohon mengejar mereka dan air sungai bertambah semakin deras mengikuti gerakan maju sang pahlawan.
Raja Iobates tercengang kaget, kalau sampai air masuk ke dalam kota, maka kota beserta seluruh isinya akan tenggelam dan hanyut terbawa air bah. Tetapi semua prajurit dan kaum pria kota itu tanpa rasa malu lari tunggang langgang meninggalkan kota. Hanya tertinggal para wanita, istri dan anak-anak permpuan, yang tanpa rasa gentar maju menghadang Bellerophon. Sang pahlawan sama sekali tidak berniat melukai wanita-wanita itu atau menenggelamkan kota mereka. Ia menahan langkahnya, tetapi Athena menyuruhnya tetap maju melangkah. Dalam benaknya, sang dewi memiliki rencana tersendiri...
Walaupun wanita-wanita itu berteriak, memohon agar Bellerophon berhenti, sang pahlawan tidak menjawab dan terus berjalan ke arah mereka. Air sungai mengalir di sela kaki-kaki Bellerophon dan ombak besar bergulung-gulung di balik punggungnya, tetapi wanita-wanita Xanthia tetap berdiri di tempatnya. Bellerophon semakin dekat dan air mulai menyembur ke arah mereka. Dengan gerakan spontan, para wanita itu, tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan, mengangkat gaun mereka tinggi-tinggi, seakan-akan yang terpenting bagi mereka adalah menjaga gaun mereka tetap kering.
Tetapi tindakan wanita-wanita itu justru menyelamatkan mereka dan seluruh kota. Karena, percaya atau tidak, setelah Bellerophon melihat paha wanita-wanita Xanthus, mukanya menjadi merah dan ia membalikkan badannya dengan malu. Pada saat itu pula air sungai ikut berbalik dan mengalir kembali ke jalurnya di sungai Xanthus.
Iobates yang menyaksikan itu semua bertanya-tanya. Timbul keheranan dalam dirinya, bagaimana orang yang mukanya merah padam saat melihat kaki wanita bisa menyerang dan berusaha memperkosa putrinya? Kebenaran pun terungkap. Bellerophon jelas tidak bersalah. Sebagai permintaan maaf dan penghormatan kepada sang pahlawan, raja Iobates menikahkan Bellerophon dengan putri bungsunya dan menunjuknya sebagai pewaris takhta kerajaan.
Untuk kaum wanita di Xanthus, Iobates juga tidak melupakan jasa mereka yang telah menyelamatkan kota. Sebagai penghargaan ia memerintahkan penduduk yang berdiam di sekitar sungai Xanthus berhenti menamai anak-anak mereka dengan nama ayah di belakang nama kecilnya dan menggantinya dengan nama ibu. Maka di daerah itu, sebagai contoh, seorang anak laki-laki tidak dipanggil “Akhilles putra Peleus” tetapi “Akhilles putra Thetis”. Ini adalah kehormatan besar bagi kaum wanita dan pukulan bagi kaum laki-laki Xanthus atas kepengecutan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar