Alkisah, pada zaman dahulu kala, di daerah Maluku Utara, ada seorang pemuda tampan bernama Jafar Sidik. Tak seorang pun warga yang mengetahui asal-usul keluarganya. Ia tinggal sendirian di sebuah rumah kecil di Desa Salero Ternate. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, Jafar Sidik mencari kayu bakar di hutan dan menjualnya ke pasar. Di tengah hutan tempat ia biasanya mencari kayu bakar terdapat sebuah telaga yang berair jernih, sejuk, dan dikelilingi oleh pepohonan yang rindang. Setiap orang yang berada di tempat itu hatinya akan merasa nyaman dan tenteram. Itulah sebabnya telaga itu disebut dengan Telaga Air Sentosa.
Suatu sore, sepulang mencari kayu bakar, Jafar Sidik duduk-duduk di tepi telaga itu untuk melepaskan lelah. Sore itu, cuaca tampak cerah. Ia duduk di atas sebuah batu besar sambil merendam kakinya dalam air telaga. Pandangannya menerawang ke langit yang berwarna jingga. Pada saat itulah, tiba-tiba pandangannya tertuju pada setitik cahaya berwarna-warni. Semakin lama cahaya itu semakin memanjang dan semakin jelas, kemudian ujungnya jatuh di tengah Telaga Air Sentosa.
“Sungguh aneh! Tak ada gerimis, tak ada hujan, tapi ada pelangi,” gumam Jafar Sidik.
Baru selesai bergumam, tiba-tiba Jafar Sidik melihat di atas ujung lengkungan pelang itu muncul tujuh wanita cantik dengan pakaian warna-warni sesuai dengan warna pelangi. Ada yang berbusana warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Ketujuh wanita yang tak lain bidadari dari Kahyangan itu kemudian terbang ke tepi telaga. Jafar Sidik pun segera bersembunyi di balik sebuah pohon besar sambil mengawasi tindak-tanduk mereka. Rupanya, ketujuh bidadari cantik tersebut hendak mandi di telaga itu. Mereka melepas selendangnya dan meletakkannya di atas bebatuan, kemudian mereka masuk ke dalam telaga. Dengan riangnya mereka mandi dan bermain-main air diselingi dengan canda tawa.
Jafar Sidik terus mengawasi ketujuh bidadari itu dari balik pepohonan. Ia sangat terpesona melihat kecantikan mereka. Di antara ketujuh bidadari tersebut, bidadari yang berbaju ungulah yang paling cantik. Dia adalah adik yang paling bungsu.
“Aduhai... cantik sekali bidadari yang berpakaian ungu itu,” gumam Jafar Sidik dengan kagum.
Jafar Sidik pun langsung jatuh hati dan berniat untuk memperistrinya. Namun, ia bingung karena bidadari itu pasti akan terbang kembali ke Kahyangan. Setelah berpikir sejenak, Jafar Sidik menemukan sebuah cara. Pada saat ketujuh bidadari itu tengah asyik bersendau gurau, ia melangkah perlahan-lahan sambil berjingkat-jingkat menuju ke tempat pakaian para bidadari tersebut diletakkan. Dengan cepat, ia mengambil selendang yang berwarna ungu. Setelah itu, ia segera kembali bersembunyi di balik pohon besar dan menyembunyikan selendang tersebut di balik bajunya.
Hari pun semakin sore. Tibalah saatnya para bidadari tersebut kembali ke negerinya di Kahyangan.
“Adik-adik, hari sudah menjelang malam. Ayo kita segera pulang sebelum pelangi itu menghilang!” ajak bidadari berbaju merah, kakak yang tertua.
Keenam adiknya pun menurut. Mereka segera naik ke darat dan mengenakan selendang masing-masing. Namun, bidadari yang bungsu masih kebingungan, karena selendangnya hilang.
“Ayo cepat, Bungsu! Pelangi sudah hampir menghilang!” seru bidadari berbaju hijau.
“Tunggu sebentar, Kak! Selendangku tidak ada. Padahal, tadi aku meletakkannya di atas bebatuan ini bersama dengan selendang Kakak,” kata bidadari yang berbaju ungu tiba-tiba.
Bidadari bungsu pun segera mencari selendangnya dan dibantu oleh keenam kakaknya. Mereka sudah mencarinya ke mana-mana, namun tidak menemukannya. Walaupun harus meninggalkan si Bungsu seorang diri, keenam bidadari lainnya memutuskan untuk segera pulang, karena pelangi sudah mulai memudar.
“Maafkan kami, Adikku! Kami terpaksa meninggalkanmu seorang diri sini. Jaga dirimu baik-baik!” ujar bidadari yang sulung.
“Jangan tinggalkan aku, Kak!” teriak si Bungsu sambil meratap.
Namun, keenam kakaknya sudah terbang meninggalkannya. Tak lama kemudian mereka pun menghilang bersamaan dengan hilangnya pelangi itu.
Bidadari bungsu pun menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
“Ayah... Ibu..., kenapa nasibku begini?”
Jafar Sidik merasa kasihan melihat bidadari bungsu itu. Ia pun segera menghampirinya.
“Hai, Bidadari cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu menangis dan bisa berada di tempat ini seorang diri?” tanya Jafar Sidik pura-pura tidak tahu apa yang terjadi pada bidadari bungsu itu.
“Nama hamba Putri Boki Nurfaesyah, Tuan! Hamba tidak bisa kembali lagi ke Kahyangan karena selendang hamba hilang entah ke mana. Apakah Tuan melihatnya?” tanya Putri Boki Nurfaesyah.
Jafar Sidik tidak memberitahunya kalau dialah yang telah mengambil selendang bidadari itu. Karena hari sudah hampir malam, Jafar Sidik mengajak Putri Boki Nurfaesyah ke rumahnya. Putri Boki Nurfaesyah pun menerima ajakan itu. Saat tengah malam, ketika Putri Boki Nurfaesyah tertidur pulas, Jafar Sidik menyembunyikan seledang berwarna ungu itu di bubungan rumahnya.
Sejak tinggal bersama Putri Boki Nurfaesyah, keinginan Jafar Sidik untuk menikahi putri itu semakin kuat. Pada suatu hari, ia pun menyampaikan niat itu kepada Putri Boki Nurfaesyah.
“Wahai, Putri Boki! Kebetulan aku belum berkeluarga dan tidak mempunyai sanak saudara di sini. Maukah engkau menjadi pendamping hidupku?” ungkap Jafar Sidik.
Putri Boki Nurfaesyah hanya terdiam. Ia bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya ia ingin sekali kembali ke negerinya untuk berkumpul bersama keluarganya. Namun, di sisi lain, ia tidak bisa kembali ke negerinya, karena selendangnya hilang. Akhirnya, ia pun terpaksa menerima lamaran Jafar Sidik.
“Baiklah, hamba bersedia menerima lamaran Tuan, tapi Tuan harus memenuhi satu syarat,” jawab Putri Boki Nurfaesyah.
“Apakah syaratmu itu, Putri Boki?” tanya Jafar Sidik penasaran.
“Tuan harus berjanji tidak akan mencegah hamba pulang ke Kahyangan jika hamba menemukan kembali selendang hamba,” jawab Putri Boki Nurfaesyah.
Jafar Sidik pun menerima syarat itu, karena ia berpikir bidadari bungsu itu tidak akan bisa menemukan selendangnya. Akhirnya, mereka pun menikah. Pasangan pengantin baru itu pun hidup bahagia, tenteram, dan damai. Jafar Sidik pun semakin tekun dan rajin bekerja. Kini, ia tidak hanya mencari kayu bakar, tetapi juga menanam sayur-sayuran di ladang. Pagi-pagi sekali ia sudah berangkat ke ladang dan baru kembali ke rumah saat hari mulai petang.
Beberapa tahun kemudian, Jafar Sidik dan Putri Boki Nurfaesyah telah dikaruniai empat orang anak laki-laki yang masih kecil-kecil. Semakin lengkaplah kebahagiaan Jafar Sidik. Ia pun mendidik anak-anaknya agar taat memegang dan melaksanakan ajaran agama Islam. Ia juga mengajarkan kepada mereka agar hidup saling menyayangi, tolong-menolong, dan rukun antara sesama saudara. Ia berharap keempat anaknya kelak menjadi orang yang bertanggung jawab.
Kehadiran keempat anak tersebut membuat Jafar Sidik semakin bersemangat bekerja. Putri Boki Nurfaesyah pun merasa berbahagia hidup bersama suami dan anak-anaknya. Namun, di tengah-tengah kebahagiaan itu, tiba-tiba muncul keinginan untuk pulang ke negerinya, jika ia telah menemukan selendangnya.
Suatu hari, ketika suaminya sedang bekerja di ladang, Putri Boki Nurfaesyah melihat ada pelangi di atas bubungan rumah mereka. Ia pun mengamatinya. Pada saat itulah, ia melihat sehelai kain berwarna ungu terselip di bubungan rumah. Ia pun mengambil kain itu. Setelah diamati, ternyata kain itu adalah selendangnya. Ia pun mengetahui bahwa orang yang telah menyembunyikan selendangnya selama ini adalah suaminya sendiri. Tanpa menunggu kedatangan suaminya pulang dari ladang, ia pun berpamitan kepada anak-anaknya untuk segera kembali ke Kahyangan.
“Maafkan Ibu, anak-anakku! Ibu harus pergi meninggalkan kalian. Jagalah diri kalian baik-baik dan patuhlah kepada ayah kalian!” ujar Putri Boki Nurfaesyah kepada anak-anaknya.
“Ibu mau pergi ke mana?” tanya si Sulung.
“Ketahuilah, anak-anakku! Ibu ini adalah seorang bidadari dari Kahyangan. Sebelum menikah, Ibu dan ayah kalian telah mengikat janji bahwa jika suatu hari kelak Ibu menemukan selendang Ibu yang hilang di tepi Telaga Air Sentosa, Ibu akan kembali ke Kahyangan,” ungkap sang Ibu.
“Ibu.... jangan tinggalkan kami. Kami sangat sayang kepada Ibu,” ratap si Bungsu.
“Iya, Bu! Jika Ibu pergi, siapa lagi yang akan mengurus si Bungsu,” tambah anak ketiganya sambil menangis.
“Maafkan Ibu, anak-anakku! Ibu harus segera pergi sebelum pelangi itu hilang. Ibu sudah bertekad kembali menemui keluarga Ibu di Kahyangan,” kata Putri Boki Nurfaesyah sambil meneteskan air mata.
Sesaat, suasana di rumah itu menjadi hening. Hati ibu dan keempat anak tersebut diselimuti perasaan haru. Dengan isak tangis haru, keempat anak itu terus membujuk sang Ibu agar tidak meninggalkan mereka. Namun, isak tangis mereka tidak dapat lagi membendung tekad sang Ibu. Putri Boki Nurfaesyah pun segera melilitkan selendang itu di pingganngya, lalu memegang kedua ujungnya seraya mengepak-ngepakkannya. Perlahan-lahan kakinya pun terangkat seperti tak berpijak di bumi. Tiba-tiba Putri Boki Nurfaesyah meliukkan badannya, dan seketika itu ia pun terbang melayang, membubung ke angkasa menuju negeri Kahyangan. Tak berapa lama, ia pun menghilang bersamaan dengan hilangnya pelangi. Keempat anaknya terperangah menyaksikan peristiwa tersebut. Sejak itu, Putri Boki Nurfaesyah tidak pernah lagi kembali ke bumi.
Saat malam menjelang, Jafar Sidik pulang dari ladangnya. Alangkah terkejutnya ia ketika mendapati anak-anaknya sedang menangis tersedu-sedu.
“Hai, kenapa kalian menangis? Ke mana Ibu kalian?” tanya Jafar Sidik dengan perasaan cemas.
Si Sulung pun menceritakan bahwa sang Ibu telah pergi. Betapa terkejutnya Jafar Sidik mendengar cerita itu. Ia sangat sedih dan menyesal karena tidak mampu menjaga keutuhan keluargannya. Namun, Jafar Sidik tidak ingin berlarut-laut dalam kesedihan, karena ia masih memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mendidik dan membesarkan anak-anaknya.
Sejak itu, Jafar Sidik pun harus membagi waktunya bekerja di ladang dan mengasuh anak-anaknya. Ia baru berangkat ke ladang setelah mengurus keempat anaknya, dan kembali ke rumah saat hari menjelang siang. Jafar Sidik kembali lagi ke ladang setelah anak-anaknya makan siang, dan pulang ke rumah sebelum malam menjelang. Begitulah kegiatan Jafar Sidik setiap hari sejak ditinggal pergi oleh istrinya.
Waktu terus berjalan. Keempat putra Jafar Sidik menjadi pemuda yang tampan, taat beragama, dan berjiwa sosial. Saat Maluku Utara dibagi dalam susunan pemerintahan, putra-putra Jafar Sidik tersebut diangkat menjadi pemimpinnya. Putra pertamanya menjadi sultan di Bacan, putra kedua menjadi sultan di Jailolo, putra ketiga menjadi sultan di Tidore, dan putra keempat menjadi sultan di Ternate. Dari merekalah kemudian lahir pemimpin-pemimpin Maluku.
* * *
Demikian cerita Asal-Usul Empat Sultan di Maluku Utara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah keutamaan dari sifat bertanggung jawab. Sifat ini ditunjukkan oleh sikap dan perilaku Jafar Sidik yang telah mendidik dan membesarkan keempat anaknya menjadi orang yang taat beragama dan berjiwa sosial, sehingga mereka berhasil menjadi pemimpin di empat wilayah di Maluku Utara. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
kalau anak hendak menakah,
isilah dengan petuah amanah
kalau anak hendak jadi orang,
tunjuk ajarnya janganlah kurang
wahai ananda kuatkan iman,
tunaikan tugas jalankan kewajiban
tanggung jawabmu jangan abaikan
supaya hidupmu diridhoi Tuhan
Rabu, 22 September 2010
Asal Mula Asap Gunung Canlaon
Pada zaman dahulu kala, jauh sebelum bangsa Spanyol mendatangi Pulau Negros, Filipina, tanah di sekitar Gunung Canlaon luar biasa suburnya. Warna hijau perkebunan tembakau membentang luas, melingkar seakan sengaja diciptakan untuk menjadi selimut bagi gunung yang indah itu. Masyarakat di sekitar gunung itu hidup dengan rukun dan bahagia. Mereka tidak kekurangan suatu apapun karena tanah tempat mereka hidup sudah menyediakan hampir segala hal. Sayur-mayur dan ternak dapat berkembang dengan baik di sekeliling mereka. Tanaman tembakau, sumber penghidupan utama mereka, selalu memberikan hasil yang melimpah sehingga masing-masing keluarga dapat memakmurkan dirinya. Mata air tak henti-hentinya menyembur, memberikan kehidupan bagi segala makhluk yang dilewatinya. Air itu sangat jernih sehingga siapa pun tidak akan dapat melihat raut wajahnya sendiri ketika memandang ke dalam parit. Mereka melihat langsung dasar sungai, melihat bumi, alam yang melahirkannya. Mereka melihat diri mereka yang sebenarnya.
Tanaman tembakau di sekitar gunung memang ditanam dan dirawat oleh masyarakat. Namun, sesungguhnya bukan usaha mereka yang membuat hasil panen mereka selalu melimpah. Nun jauh di atas gunung, hidup seorang laki-laki tua yang bernama Harisaboqued. Ia adalah kakek yang sakti dan baik hati. Tubuhnya kecil dan kurus, serta rambutnya putih panjang menjuntai ke bawah. Ketika menampakkan diri, ia terlihat seperti petani sederhana, bercaping dan berpakaian serba hitam. Dengan pipa kayu di mulutnya ia sering turun gunung menyapa para warga. Orang-orang sangat menghormatinya karena ia memiliki kekuatan gaib yang hebat. Horisaboqued hidup seorang diri di atas Gunung Canlaon dan hanya ditemani oleh beberapa liliput yang selalu siap sedia menuruti segala permintaannya. Liliput-liliput inilah yang menjaga dan merawat tanaman tembakau setiap hari, menjaganya dari hama, menyiraminya, dan memberinya pupuk. Mereka memang ditugaskan Horisaboqued untuk mengurusi seluruh perkebunan di sekitar gunung.
Masyarakat sadar akan ketergantungan mereka pada Horisaboqued dan sebab itu tidak seorang pun berani menentang segala perintah orang tua itu. Tentu saja, Horisaboqued yang baik hati tidak pernah memberikan perintah yang memberatkan mereka. Ia hanya pernah meminta satu hal saja, yang ia titahkan ketika hendak pergi untuk masa yang panjang, yaitu tidak boleh ada yang menanam tembakau melewati garis batas yang telah ia buat.
“Wahai wargaku, aku akan pergi lama. Aku tidak akan berada di sekitar kalian namun tidaklah perlu kalian kuatir setelah kepergianku. Tanaman tembakau akan tetap tumbuh subur sehingga hidup kalian akan senantiasa makmur. Satu saja permintaanku, wahai wargaku. Janganlah satu pun dari kalian menanam tembakau melewati garis batas yang telah kutentukan. Garis batas itu mengelilingi gunung di puncaknya. Wilayah itu harus selalu bersih dari tanaman karena aku nanti akan kembali dari sana. Apabila permintaanku ini tidak kalian penuhi, aku akan mengambil semua tembakau dan tidak akan membiarkan satu tanaman pun tumbuh di sekitar gunung sampai aku merokok habis semua tembakau itu,” kata Horisaboqued.
Para warga mengangguk dan seketika itu sang orang tua sakti menghilang diterpa angin. Tahun demi tahun lewat tanpa ada tanda-tanda Horisaboqued akan kembali. Pesan terakhirnya masih dipatuhi oleh semua warga kecuali beberapa orang yang sangat ingin menanam tembakau melewati garis batas. Orang-orang ini berpikir bahwa hasil yang mereka dapat pasti akan lebih banyak kalau saja wilayah itu mereka jadikan kebun. Mereka sudah melupakan Horisaboqued dan perintahnya.
“Horisaboqued tidak akan kembali. Sudah bertahun-tahun ia meninggalkan kita. Dan tentu kalian tahu, bahkan tanpa campur tangannya hasil yang kita dapat tetap melimpah. Kupikir peringatannya hanya tipu muslihat saja, supaya kita tidak lebih berkuasa dari dia,” ujar salah seorang dari mereka di hadapan para warga yang sengaja mereka kumpulkan di Balai Desa.
“Tanah di atas gunung itu sangat subur. Bayangkan kalau kita menanaminya, kita akan menjadi lebih makmur. Hidup kita akan lebih bahagia. Jangan takut, Horisaboqued tidak akan menghukum kita. Kalau pun dia kembali, kita bisa membayar para preman untuk membunuhnya,” imbuh salah seorang yang lain.
Banyak dari para warga terbujuk dan mulai berniat melanggar perintah Horisaboqued. Mereka tergiur hasil panen yang lebih banyak.
“Baiklah, salah satu dari kalian cobalah tanam tembakau di sana. Kalau tidak ada apa-apa, kami akan mengikuti kalian,” timpal salah satu warga.
Keesokan harinya, seorang warga mencoba menanam tembakau di tanah larangan dan seperti yang mereka pikir, tidak terjadi suatu apapun. Mengetahui hal ini, seluruh warga kemudian ikut menanam di sana. Mereka tertawa terbahak-bahak, melupakan perintah Horisaboqued yang bijak. Seluruh puncak gunung menjadi hijau ditanami tembakau. Masyarakat menari-nari dan berpesta setiap malam. Mereka tidak sabar akan hasil yang akan mereka dapat dan tidak lagi mempedulikan hal-hal selain itu. Setelah menjadi orang-orang gila harta, tentang bumi mereka lupa.
Sampai pada suatu hari, ketika para warga bersama-sama menyirami tanaman mereka, puncak gunung itu tiba-tiba meledak. Gunung itu mengeluarkan debu dan asap yang tebal. Dari dalam asap itulah sesosok kakek muncul. Horisaboqued telah kembali. Para warga ketakutan dan lari terbirit-birit sampai-sampai tidak berani menoleh kebelakang.
“Kalian telah melanggar perintahku,” suara Horisaboqued menggelegar. “Padahal kalian tahu apa akibatnya.”
“Ampuun! Ampuuun!” teriak warga sambil terus menjauh.
Asap terus mengepul dari puncak gunung dan menjalar ke bawah seakan mengejar orang-orang. Dalam sekejap, wilayah di sekitar gunung menjadi gelap karena sinar matahari tertutup asap.
“Baiklah, aku akan mengambil semua tembakau yang kalian tanam dan tidak akan sebatang tumbuhan pun hidup di gunung ini sampai tembakau itu habis terbakar di pipaku ini,” Horisaboqued menepati kata-katanya.
Beberapa saat kemudian, berangsur-angsur kepulan asap menghilang. Horisaboqued kembali ke dalam gunung beserta kepulan asap gelap itu. Ketika masyarakat menoleh ke arah perkebunan mereka di gunung, mereka menangis tersedu. Tak ada sebatang pun tersisa. Semua telah lenyap seiring hapusnya impian mereka akan harta yang melimpah. Mereka sadar, keserakahan telah membutakan mata dan hati mereka. Semua menyesali perbuatannya. Namun apa lacur, nasi telah menjadi bubur.
Hingga kini, Gunung Canlaon masih mengeluarkan asap, menandakan bahwa Horisaboqued belum selesai merokok semua tembakau yang telah diambilnya. Dan benar saja, tidak ada tembakau yang dapat tumbuh di sana. Ratusan tahun berlalu dan masyarakat sekitar gunung terus mengingat cerita ini ketika mereka memandang Gunung Canlaon yang terus mengepul.
***
Begitulah cerita tentang Horisaboqued dan Asal Mula Asap Gunung Canlaon. Dalam cerita ini terdapat nilai kearifan yang dapat diambil sebagai sebuah pelajaran yang sangat berharga. Warga sekitar gunung adalah orang-orang yang tamak dan tidak pernah puas akan harta. Namun pada akhirnya keserakahan mereka mendatangkan malapetaka. Ketamakan dapat membutakan mata dan hati manusia. Selain itu, melalui cerita ini, kita diajarkan untuk tidak berlebihan dalam memanfaatkan alam. Sesungguhnya semua ada batasnya dan manusia bijak akan benar-benar memahami hal ini.
Tanaman tembakau di sekitar gunung memang ditanam dan dirawat oleh masyarakat. Namun, sesungguhnya bukan usaha mereka yang membuat hasil panen mereka selalu melimpah. Nun jauh di atas gunung, hidup seorang laki-laki tua yang bernama Harisaboqued. Ia adalah kakek yang sakti dan baik hati. Tubuhnya kecil dan kurus, serta rambutnya putih panjang menjuntai ke bawah. Ketika menampakkan diri, ia terlihat seperti petani sederhana, bercaping dan berpakaian serba hitam. Dengan pipa kayu di mulutnya ia sering turun gunung menyapa para warga. Orang-orang sangat menghormatinya karena ia memiliki kekuatan gaib yang hebat. Horisaboqued hidup seorang diri di atas Gunung Canlaon dan hanya ditemani oleh beberapa liliput yang selalu siap sedia menuruti segala permintaannya. Liliput-liliput inilah yang menjaga dan merawat tanaman tembakau setiap hari, menjaganya dari hama, menyiraminya, dan memberinya pupuk. Mereka memang ditugaskan Horisaboqued untuk mengurusi seluruh perkebunan di sekitar gunung.
Masyarakat sadar akan ketergantungan mereka pada Horisaboqued dan sebab itu tidak seorang pun berani menentang segala perintah orang tua itu. Tentu saja, Horisaboqued yang baik hati tidak pernah memberikan perintah yang memberatkan mereka. Ia hanya pernah meminta satu hal saja, yang ia titahkan ketika hendak pergi untuk masa yang panjang, yaitu tidak boleh ada yang menanam tembakau melewati garis batas yang telah ia buat.
“Wahai wargaku, aku akan pergi lama. Aku tidak akan berada di sekitar kalian namun tidaklah perlu kalian kuatir setelah kepergianku. Tanaman tembakau akan tetap tumbuh subur sehingga hidup kalian akan senantiasa makmur. Satu saja permintaanku, wahai wargaku. Janganlah satu pun dari kalian menanam tembakau melewati garis batas yang telah kutentukan. Garis batas itu mengelilingi gunung di puncaknya. Wilayah itu harus selalu bersih dari tanaman karena aku nanti akan kembali dari sana. Apabila permintaanku ini tidak kalian penuhi, aku akan mengambil semua tembakau dan tidak akan membiarkan satu tanaman pun tumbuh di sekitar gunung sampai aku merokok habis semua tembakau itu,” kata Horisaboqued.
Para warga mengangguk dan seketika itu sang orang tua sakti menghilang diterpa angin. Tahun demi tahun lewat tanpa ada tanda-tanda Horisaboqued akan kembali. Pesan terakhirnya masih dipatuhi oleh semua warga kecuali beberapa orang yang sangat ingin menanam tembakau melewati garis batas. Orang-orang ini berpikir bahwa hasil yang mereka dapat pasti akan lebih banyak kalau saja wilayah itu mereka jadikan kebun. Mereka sudah melupakan Horisaboqued dan perintahnya.
“Horisaboqued tidak akan kembali. Sudah bertahun-tahun ia meninggalkan kita. Dan tentu kalian tahu, bahkan tanpa campur tangannya hasil yang kita dapat tetap melimpah. Kupikir peringatannya hanya tipu muslihat saja, supaya kita tidak lebih berkuasa dari dia,” ujar salah seorang dari mereka di hadapan para warga yang sengaja mereka kumpulkan di Balai Desa.
“Tanah di atas gunung itu sangat subur. Bayangkan kalau kita menanaminya, kita akan menjadi lebih makmur. Hidup kita akan lebih bahagia. Jangan takut, Horisaboqued tidak akan menghukum kita. Kalau pun dia kembali, kita bisa membayar para preman untuk membunuhnya,” imbuh salah seorang yang lain.
Banyak dari para warga terbujuk dan mulai berniat melanggar perintah Horisaboqued. Mereka tergiur hasil panen yang lebih banyak.
“Baiklah, salah satu dari kalian cobalah tanam tembakau di sana. Kalau tidak ada apa-apa, kami akan mengikuti kalian,” timpal salah satu warga.
Keesokan harinya, seorang warga mencoba menanam tembakau di tanah larangan dan seperti yang mereka pikir, tidak terjadi suatu apapun. Mengetahui hal ini, seluruh warga kemudian ikut menanam di sana. Mereka tertawa terbahak-bahak, melupakan perintah Horisaboqued yang bijak. Seluruh puncak gunung menjadi hijau ditanami tembakau. Masyarakat menari-nari dan berpesta setiap malam. Mereka tidak sabar akan hasil yang akan mereka dapat dan tidak lagi mempedulikan hal-hal selain itu. Setelah menjadi orang-orang gila harta, tentang bumi mereka lupa.
Sampai pada suatu hari, ketika para warga bersama-sama menyirami tanaman mereka, puncak gunung itu tiba-tiba meledak. Gunung itu mengeluarkan debu dan asap yang tebal. Dari dalam asap itulah sesosok kakek muncul. Horisaboqued telah kembali. Para warga ketakutan dan lari terbirit-birit sampai-sampai tidak berani menoleh kebelakang.
“Kalian telah melanggar perintahku,” suara Horisaboqued menggelegar. “Padahal kalian tahu apa akibatnya.”
“Ampuun! Ampuuun!” teriak warga sambil terus menjauh.
Asap terus mengepul dari puncak gunung dan menjalar ke bawah seakan mengejar orang-orang. Dalam sekejap, wilayah di sekitar gunung menjadi gelap karena sinar matahari tertutup asap.
“Baiklah, aku akan mengambil semua tembakau yang kalian tanam dan tidak akan sebatang tumbuhan pun hidup di gunung ini sampai tembakau itu habis terbakar di pipaku ini,” Horisaboqued menepati kata-katanya.
Beberapa saat kemudian, berangsur-angsur kepulan asap menghilang. Horisaboqued kembali ke dalam gunung beserta kepulan asap gelap itu. Ketika masyarakat menoleh ke arah perkebunan mereka di gunung, mereka menangis tersedu. Tak ada sebatang pun tersisa. Semua telah lenyap seiring hapusnya impian mereka akan harta yang melimpah. Mereka sadar, keserakahan telah membutakan mata dan hati mereka. Semua menyesali perbuatannya. Namun apa lacur, nasi telah menjadi bubur.
Hingga kini, Gunung Canlaon masih mengeluarkan asap, menandakan bahwa Horisaboqued belum selesai merokok semua tembakau yang telah diambilnya. Dan benar saja, tidak ada tembakau yang dapat tumbuh di sana. Ratusan tahun berlalu dan masyarakat sekitar gunung terus mengingat cerita ini ketika mereka memandang Gunung Canlaon yang terus mengepul.
***
Begitulah cerita tentang Horisaboqued dan Asal Mula Asap Gunung Canlaon. Dalam cerita ini terdapat nilai kearifan yang dapat diambil sebagai sebuah pelajaran yang sangat berharga. Warga sekitar gunung adalah orang-orang yang tamak dan tidak pernah puas akan harta. Namun pada akhirnya keserakahan mereka mendatangkan malapetaka. Ketamakan dapat membutakan mata dan hati manusia. Selain itu, melalui cerita ini, kita diajarkan untuk tidak berlebihan dalam memanfaatkan alam. Sesungguhnya semua ada batasnya dan manusia bijak akan benar-benar memahami hal ini.
Asal Mula Kapur, Sirih, dan Pinang
Alkisah, di sebuah daerah di Vietnam, hidup sepasang suami-istri bersama dua anak lelaki kembarnya yang bernama Tang dan Lan. Saudara kembar itu sama-sama tampan dan pandai. Hidung mereka mancung dan mata mereka bulat bersinar. Keduanya hidup saling menyayangi. Ke mana pun pergi, mereka selalu bersama.
Suatu hari, ayah Tang dan Lan sakit keras. Sudah banyak tabib yang mengobatinya, namun sakitnya tidak kunjung sembuh, dan akhirnya meninggal dunia. Seluruh anggota keluarga itu bersedih hati, terutama ibu Tang dan Lan. Oleh karena rasa sedih yang mendalam, ibu Tang dan Lan tidak mau makan hingga jatuh sakit. Tak lama berselang, sang Ibu pun meninggal dunia. Maka, tinggallah Tang dan Lan berdua sebagai yatim piatu.
Walaupun kedua orang tua mereka telah tiada, Tang dan Lan tetap memiliki semangat untuk hidup. Oleh karena sudah tidak memiliki sanak keluarga di kampung, mereka pun memutuskan hendak pergi ke kota untuk mencari sahabat karib ayahnya yang bernama Hakim Luu, dengan harapan, Hakim Luu dapat membantu mencarikan pekerjaan untuk mereka.
Setelah mempersiapkan segala keperluan, mereka pun berangkat ke kota. Sesampainya di kota, mereka bertanya kesana-kemari untuk mencari alamat rumah Hakim Luu, karena mereka belum pernah ke kota itu sebelumnya. Setelah beberapa lama mencari, akhirnya mereka pun menemukan rumah Hakim Luu.
”Bang, benar. Ini rumah Paman Luu,” kata Lan kepada Tang sambil menunjuk papan nama yang melekat di pintu rumah itu.
”Tok...! Tok...! Tok...! Permisi...!!!” seru Tang sambil mengetuk pintu.
”Ya... sebentar!” terdengar suara dari dalam rumah.
Tidak berapa lama, tampak seorang laki-laki tinggi gemuk membuka pintu. Di belakangnya tampak seorang gadis kecil berkulit putih sedang mengintip.
”Eeeh... Nak Tang dan Nak Lan! Mari silahkan masuk!” sambut Hakim Luu.
”Terima kasih, Paman!” ucap Tang dan Lan.
Sebelum mempersilahkan duduk, Hakim Luu terlebih dahulu memperkenalkan putrinya kepada mereka. Putri Hakim Luu adalah gadis kecil yang cerdas, tapi pemalu. Saat berkenalan dengan Tang dan Lan, pipinya memerah.
”Bagaimana kalian bisa sampai kemari?” tanya Hakim Luu.
Mendengar pertanyaan itu, Tang dan Lan saling berpandangan.
”Sepertinya kalian sedang ada masalah. Ada apa, Nak?” tanya Hakim Luu.
”Iya, Paman. Kami sedang sedih. Dua minggu yang lalu ayah kami meninggal dunia karena sakit,” jawab Tang dengan nada sedih.
”Hah, meninggal dunia! Kenapa kalian tidak memberi kabar?” tanya Hakim Luu dengan terkejut.
”Lalu, bagaimana dengan ibu kalian?” tambahnya dengan perasaan cemas.
”Begini, Paman. Sepeninggal ayah, ibu tidak mau makan hingga jatuh sakit. Beberapa hari kemudian, ibu pun menyusul kepergian ayah,” cerita Tang.
”Paman turut berduka cita atas meninggalnya orang tua kalian. Paman tahu kalian tidak memiliki siapa-siapa lagi. Jadi, kalian boleh tinggal di rumah ini bersama kami,” kata Hakim Luu.
“Terima kasih, Paman!” jawab Tang dan Lan serentak.
Sejak itu, Tang dan Lan tinggal di rumah Hakim Luu. Mereka rajin dan tekun membantu Hakim Luu berjualan di toko. Hakim Luu menyayangi mereka seperti anak kandungnya sendiri.
Waktu terus berjalan. Tang dan Lan tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan pandai. Tingkah laku dan sopan santunnya memikat hati semua orang. Putri Hakim Luu pun tumbuh dewasa dan semakin cantik menawan. Rupanya, Tang dan Lan diam-diam menaruh perhatian pada putri Hakim Luu yang pemalu itu. Namun, mereka malu dan tidak berani mengutarakannya.
Pada suatu hari, timbul niat di hati Hakim Luu untuk menikahkan salah seorang dari mereka dengan putrinya. Namun, ia tidak dapat menentukan siapa yang akan dipilihnya, karena mereka memiliki paras dan perangai yang serupa. Akhirnya, ia mengajak kedua saudara kembar itu untuk bermusyawarah.
”Begini, Nak! Paman berniat menikahkan putriku. Tapi, paman masih bingung untuk memilih salah seorang di antara kalian,” ungkap Hakim Luu.
”Dengan Tang saja, Paman!” sahut Lan.
”Tidak, Paman! Lan saja!” sanggah Tang.
Hakim Luu pun semakin bingung melihat kedua saudara kembar itu saling menunjuk. Ia harus memilih salah seorang di antara mereka. Untuk itu, Hakim Luu ingin mengetahui siapa di antara keduanya yang lebih tua dan yang berhak menikahi putrinya. Ia kemudian meminta kepada putrinya untuk menyediakan semangkuk makanan dan sepasang sumpit di depan Tang dan Lan. Saat Hakim Luu mempersilahkan kepada mereka untuk bersantap, Lan langsung mengambil sumpit itu, lalu menyerahkannya kepada Tang dengan sopan. Tang pun menerimanya. Melihat hal itu, tahulah Hakim Luu bahwa Tang adalah yang lebih tua. Maka, Tang lah yang terpilih menjadi menantunya.
Pesta pernikahan mereka pun dilaksanakan dengan meriah. Berbagai pertunjukan seni dan tari dipentaskan. Undangan datang dari berbagai negeri. Bahkan banyak pembesar kerajaan yang datang ke pesta itu. Para undangan ikut berbahagia menyaksikan pasangan pengantin itu sedang duduk bersanding di pelaminan.
Kehidupan pengantin muda itu sangat berbahagia. Tang sering mengarang syair-syair percintaan dan menyanyikannya untuk melukiskan rasa kebahagiaannya. Oleh karena terlalu asyiknya dengan kehidupan rumah tangga barunya, Tang melupakan Lan. Ia tidak pernah lagi bercerita dan duduk mengobrol dengan adiknya itu. Pada awalnya Lan memakluminya. Namun, semakin hari sikap Tang semakin tidak peduli lagi kepadanya, sehingga Lan merasa kesepian.
“Begitu malangnya nasibku. Abang pun sudah melupakan aku. Apalah gunanya berada di sini jika tidak pernah disapa sama sekali,” ucap Lan dengan sedihnya.
Lan kemudian bertekad mengembara seorang diri untuk menghilangkan kesedihannya. Ia pun meninggalkan kota itu tanpa sepengetahuan Tang dan keluarga Hakim Luu. Ia berjalan tanpa arah dan tujuan, mengikuti ke mana arah kakinya melangkah. Sudah banyak hutan ia lewati, gunung ia daki, dan sungai ia seberangi, namun kesedihannya tidak juga hilang dari hatinya.
Suatu hari, saat hari mulai gelap, sampailah ia di sebuah pantai yang indah dan sejuk. Lan mencari-cari tempat untuk bermalam, namun tidak menemukan tempat untuk berlindung. Perutnya pun terasa sangat lapar, karena sudah beberapa hari tidak terisi oleh makanan sedikit pun. Semakin lama, tubuhnya pun semakin lemah, dan akhirnya meninggal dunia di tempat itu. Konon, mayat Lan berubah menjadi sebuah batu kapur yang putih.
Sementara itu, Tang yang menyadari adiknya telah pergi dari rumah merasa sangat menyesal. Dengan perasaan sedih dan pilu, ia pergi mencari adiknya. Setelah berjalan melalui hutan lebat, mendaki gunung, dan menyeberangi sungai, sampailah ia di pantai tempat adiknya meninggal dunia. Oleh karena terlalu letih, ia pun duduk di pantai sambil menyaksikan deburan ombak.
”Lan, adikku! Kamu di mana? Aku sangat menyesal karena telah mengabaikanmu,” ucap Tang sambil menangis tersedu-sedu.
Selama dua hari dua malam Tang duduk di pantai itu sambil menangis tiada henti. Ia juga tidak makan dan minum, sehingga jatuh sakit. Akhirnya ia pun meninggal dunia di tempat itu, dan mayatnya berubah menjadi pohon pinang.
Sementara itu isteri Tang sudah jenuh menunggu kepulangan suaminya. Ia pun pergi mencari suaminya yang sangat dikasihinya. Ia terus berjalan tanpa mengenal lelah hingga akhirnya sampai pula di pantai tempat suaminya meninggal. Oleh karena terlalu letih, ia pun duduk bersandar di pohon pinang di tepi pantai itu sambil menangis tanpa henti. Lama-kelamaan tubuhnya menjadi lemah tidak berdaya, dan akhirnya meninggal dunia. Mayatnya berubah menjadi pohon sirih dan melilit di pohon pinang yang tidak lain adalah jelmaan suaminya sendiri.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Kapur, Sirih, dan Pinang dari Vietnam. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk setempat mendirikan sebuah rumah ibadat di pantai itu, agar kasih sayang mereka yang tulus dapat ditiru. Di kalangan masyakat Melayu Vietnam, kapur, sirih dan pinang menjadi lambang kasih sayang.
Cerita di atas termasuk kategori cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat kasih sayang dan akibat yang ditimbulkan sifat terlena dalam kebahagiaan.
Pertama, sifat kasih sayang. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Tang dan istrinya yang rela berjalan jauh untuk mencari orang-orang yang mereka sayangi. Namun, ada sebuah pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa tersebut bahwa jika mencintai atau menyayangi seseorang hendaknya tidak berlebihan, sehingga lepas kendali dan membahayakan jiwanya. Dalam kehidupan Melayu, sifat kasih sayang memang diutamakan, tapi dalam batas kewajaran. Dikatakan dalam untaian syair:
wahai ananda dengarlah peri,
berkasih sayang sifat terpuji
pandai-pandailah menjaga diri
hati orang jangan disakiti
Kedua, akibat yang ditimbulkan dari sifat terlena dalam kebahagiaan. Sifat ini digambarkan oleh sikap dan perilaku Tang yang terlena dalam kehidupan rumah tangganya, sehingga ia mengabaikan adik kandungnya sendiri. Akibatnya, adiknya pergi meninggalkannya, karena merasa kesepian. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga dapat menyebabkan seseorang lupa kepada saudara dan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Suatu hari, ayah Tang dan Lan sakit keras. Sudah banyak tabib yang mengobatinya, namun sakitnya tidak kunjung sembuh, dan akhirnya meninggal dunia. Seluruh anggota keluarga itu bersedih hati, terutama ibu Tang dan Lan. Oleh karena rasa sedih yang mendalam, ibu Tang dan Lan tidak mau makan hingga jatuh sakit. Tak lama berselang, sang Ibu pun meninggal dunia. Maka, tinggallah Tang dan Lan berdua sebagai yatim piatu.
Walaupun kedua orang tua mereka telah tiada, Tang dan Lan tetap memiliki semangat untuk hidup. Oleh karena sudah tidak memiliki sanak keluarga di kampung, mereka pun memutuskan hendak pergi ke kota untuk mencari sahabat karib ayahnya yang bernama Hakim Luu, dengan harapan, Hakim Luu dapat membantu mencarikan pekerjaan untuk mereka.
Setelah mempersiapkan segala keperluan, mereka pun berangkat ke kota. Sesampainya di kota, mereka bertanya kesana-kemari untuk mencari alamat rumah Hakim Luu, karena mereka belum pernah ke kota itu sebelumnya. Setelah beberapa lama mencari, akhirnya mereka pun menemukan rumah Hakim Luu.
”Bang, benar. Ini rumah Paman Luu,” kata Lan kepada Tang sambil menunjuk papan nama yang melekat di pintu rumah itu.
”Tok...! Tok...! Tok...! Permisi...!!!” seru Tang sambil mengetuk pintu.
”Ya... sebentar!” terdengar suara dari dalam rumah.
Tidak berapa lama, tampak seorang laki-laki tinggi gemuk membuka pintu. Di belakangnya tampak seorang gadis kecil berkulit putih sedang mengintip.
”Eeeh... Nak Tang dan Nak Lan! Mari silahkan masuk!” sambut Hakim Luu.
”Terima kasih, Paman!” ucap Tang dan Lan.
Sebelum mempersilahkan duduk, Hakim Luu terlebih dahulu memperkenalkan putrinya kepada mereka. Putri Hakim Luu adalah gadis kecil yang cerdas, tapi pemalu. Saat berkenalan dengan Tang dan Lan, pipinya memerah.
”Bagaimana kalian bisa sampai kemari?” tanya Hakim Luu.
Mendengar pertanyaan itu, Tang dan Lan saling berpandangan.
”Sepertinya kalian sedang ada masalah. Ada apa, Nak?” tanya Hakim Luu.
”Iya, Paman. Kami sedang sedih. Dua minggu yang lalu ayah kami meninggal dunia karena sakit,” jawab Tang dengan nada sedih.
”Hah, meninggal dunia! Kenapa kalian tidak memberi kabar?” tanya Hakim Luu dengan terkejut.
”Lalu, bagaimana dengan ibu kalian?” tambahnya dengan perasaan cemas.
”Begini, Paman. Sepeninggal ayah, ibu tidak mau makan hingga jatuh sakit. Beberapa hari kemudian, ibu pun menyusul kepergian ayah,” cerita Tang.
”Paman turut berduka cita atas meninggalnya orang tua kalian. Paman tahu kalian tidak memiliki siapa-siapa lagi. Jadi, kalian boleh tinggal di rumah ini bersama kami,” kata Hakim Luu.
“Terima kasih, Paman!” jawab Tang dan Lan serentak.
Sejak itu, Tang dan Lan tinggal di rumah Hakim Luu. Mereka rajin dan tekun membantu Hakim Luu berjualan di toko. Hakim Luu menyayangi mereka seperti anak kandungnya sendiri.
Waktu terus berjalan. Tang dan Lan tumbuh menjadi pemuda yang tampan dan pandai. Tingkah laku dan sopan santunnya memikat hati semua orang. Putri Hakim Luu pun tumbuh dewasa dan semakin cantik menawan. Rupanya, Tang dan Lan diam-diam menaruh perhatian pada putri Hakim Luu yang pemalu itu. Namun, mereka malu dan tidak berani mengutarakannya.
Pada suatu hari, timbul niat di hati Hakim Luu untuk menikahkan salah seorang dari mereka dengan putrinya. Namun, ia tidak dapat menentukan siapa yang akan dipilihnya, karena mereka memiliki paras dan perangai yang serupa. Akhirnya, ia mengajak kedua saudara kembar itu untuk bermusyawarah.
”Begini, Nak! Paman berniat menikahkan putriku. Tapi, paman masih bingung untuk memilih salah seorang di antara kalian,” ungkap Hakim Luu.
”Dengan Tang saja, Paman!” sahut Lan.
”Tidak, Paman! Lan saja!” sanggah Tang.
Hakim Luu pun semakin bingung melihat kedua saudara kembar itu saling menunjuk. Ia harus memilih salah seorang di antara mereka. Untuk itu, Hakim Luu ingin mengetahui siapa di antara keduanya yang lebih tua dan yang berhak menikahi putrinya. Ia kemudian meminta kepada putrinya untuk menyediakan semangkuk makanan dan sepasang sumpit di depan Tang dan Lan. Saat Hakim Luu mempersilahkan kepada mereka untuk bersantap, Lan langsung mengambil sumpit itu, lalu menyerahkannya kepada Tang dengan sopan. Tang pun menerimanya. Melihat hal itu, tahulah Hakim Luu bahwa Tang adalah yang lebih tua. Maka, Tang lah yang terpilih menjadi menantunya.
Pesta pernikahan mereka pun dilaksanakan dengan meriah. Berbagai pertunjukan seni dan tari dipentaskan. Undangan datang dari berbagai negeri. Bahkan banyak pembesar kerajaan yang datang ke pesta itu. Para undangan ikut berbahagia menyaksikan pasangan pengantin itu sedang duduk bersanding di pelaminan.
Kehidupan pengantin muda itu sangat berbahagia. Tang sering mengarang syair-syair percintaan dan menyanyikannya untuk melukiskan rasa kebahagiaannya. Oleh karena terlalu asyiknya dengan kehidupan rumah tangga barunya, Tang melupakan Lan. Ia tidak pernah lagi bercerita dan duduk mengobrol dengan adiknya itu. Pada awalnya Lan memakluminya. Namun, semakin hari sikap Tang semakin tidak peduli lagi kepadanya, sehingga Lan merasa kesepian.
“Begitu malangnya nasibku. Abang pun sudah melupakan aku. Apalah gunanya berada di sini jika tidak pernah disapa sama sekali,” ucap Lan dengan sedihnya.
Lan kemudian bertekad mengembara seorang diri untuk menghilangkan kesedihannya. Ia pun meninggalkan kota itu tanpa sepengetahuan Tang dan keluarga Hakim Luu. Ia berjalan tanpa arah dan tujuan, mengikuti ke mana arah kakinya melangkah. Sudah banyak hutan ia lewati, gunung ia daki, dan sungai ia seberangi, namun kesedihannya tidak juga hilang dari hatinya.
Suatu hari, saat hari mulai gelap, sampailah ia di sebuah pantai yang indah dan sejuk. Lan mencari-cari tempat untuk bermalam, namun tidak menemukan tempat untuk berlindung. Perutnya pun terasa sangat lapar, karena sudah beberapa hari tidak terisi oleh makanan sedikit pun. Semakin lama, tubuhnya pun semakin lemah, dan akhirnya meninggal dunia di tempat itu. Konon, mayat Lan berubah menjadi sebuah batu kapur yang putih.
Sementara itu, Tang yang menyadari adiknya telah pergi dari rumah merasa sangat menyesal. Dengan perasaan sedih dan pilu, ia pergi mencari adiknya. Setelah berjalan melalui hutan lebat, mendaki gunung, dan menyeberangi sungai, sampailah ia di pantai tempat adiknya meninggal dunia. Oleh karena terlalu letih, ia pun duduk di pantai sambil menyaksikan deburan ombak.
”Lan, adikku! Kamu di mana? Aku sangat menyesal karena telah mengabaikanmu,” ucap Tang sambil menangis tersedu-sedu.
Selama dua hari dua malam Tang duduk di pantai itu sambil menangis tiada henti. Ia juga tidak makan dan minum, sehingga jatuh sakit. Akhirnya ia pun meninggal dunia di tempat itu, dan mayatnya berubah menjadi pohon pinang.
Sementara itu isteri Tang sudah jenuh menunggu kepulangan suaminya. Ia pun pergi mencari suaminya yang sangat dikasihinya. Ia terus berjalan tanpa mengenal lelah hingga akhirnya sampai pula di pantai tempat suaminya meninggal. Oleh karena terlalu letih, ia pun duduk bersandar di pohon pinang di tepi pantai itu sambil menangis tanpa henti. Lama-kelamaan tubuhnya menjadi lemah tidak berdaya, dan akhirnya meninggal dunia. Mayatnya berubah menjadi pohon sirih dan melilit di pohon pinang yang tidak lain adalah jelmaan suaminya sendiri.
* * *
Demikian cerita Asal Mula Kapur, Sirih, dan Pinang dari Vietnam. Untuk mengenang peristiwa tersebut, penduduk setempat mendirikan sebuah rumah ibadat di pantai itu, agar kasih sayang mereka yang tulus dapat ditiru. Di kalangan masyakat Melayu Vietnam, kapur, sirih dan pinang menjadi lambang kasih sayang.
Cerita di atas termasuk kategori cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Setidaknya ada dua pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas, yaitu keutamaan sifat kasih sayang dan akibat yang ditimbulkan sifat terlena dalam kebahagiaan.
Pertama, sifat kasih sayang. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Tang dan istrinya yang rela berjalan jauh untuk mencari orang-orang yang mereka sayangi. Namun, ada sebuah pelajaran yang dapat diambil dari peristiwa tersebut bahwa jika mencintai atau menyayangi seseorang hendaknya tidak berlebihan, sehingga lepas kendali dan membahayakan jiwanya. Dalam kehidupan Melayu, sifat kasih sayang memang diutamakan, tapi dalam batas kewajaran. Dikatakan dalam untaian syair:
wahai ananda dengarlah peri,
berkasih sayang sifat terpuji
pandai-pandailah menjaga diri
hati orang jangan disakiti
Kedua, akibat yang ditimbulkan dari sifat terlena dalam kebahagiaan. Sifat ini digambarkan oleh sikap dan perilaku Tang yang terlena dalam kehidupan rumah tangganya, sehingga ia mengabaikan adik kandungnya sendiri. Akibatnya, adiknya pergi meninggalkannya, karena merasa kesepian. Dari sini dapat dipetik sebuah pelajaran bahwa kebahagiaan dalam kehidupan rumah tangga dapat menyebabkan seseorang lupa kepada saudara dan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote
Alkisah, di Tanah U Duluo lo`u Limo lo Pohite, Gorontalo, ada seorang pemuda tampan dan gagah bernama Piilu Le Lahilote, yang akrab dipanggil Lahilote. Ia tinggal seorang diri di sebuah rumah kecil di pinggir hutan. Ia pemuda yang tekun, pekerja keras, dan memiliki angan-angan yang tinggi. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, setiap hari ia moleleyangi (mengembara masuk keluar hutan) berburu binatang.
Suatu hari, ketika hendak beristirahat di tepi telaga di tengah hutan, Lahilote mendengar suara gadis-gadis yang sedang ramai bercanda.
“Hai, suara siapa itu? Dari mana sumber suara itu?” tanya Lahilote dalam hati.
Lahilote pun segera mencari sumber suara itu. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa sumber suara tersebut berasal dari telaga itu. Ia kemudian bersembunyi di balik sebuah pohon besar, lalu mengintip untuk memeriksa keadaan. Ia tersentak kaget melihat tujuh gadis cantik sedang asyik mandi dan bersenda gurau di telaga itu. Ia mengawasi setiap gerak-gerik mereka tanpa berkedip sedikit pun. Rupanya, pemuda tampan itu terpesona melihat kecantikan para gadis tersebut.
Mulanya, Lahilote mengira ketujuh gadis itu penduduk bumi. Namun, setelah melihat tumpukan pakaian dan sayap yang berada di tepi telaga, barulah ia sadar bahwa ternyata mereka adalah Putri lo Owabu (putri kahyangan/bidadari). Karena terposana melihat kecantikan para bidadari tersebut, maka timbullah niatnya untuk menahan salah seorang dari mereka untuk dijadikan istri. Dengan kesaktiannya, ia segera mengubah wujudnya menjadi seekor ayam hutan jantan. Kemudian ia berjalan mendekati tempat tumpukan pakaian dan sayap itu sambil mengais-ngaiskan kakinya di tanah. Pada saat ketujuh putri kahyangan tersebut menyelam, dengan cepat Lahilote mengambil salah satu dari tujuh sayap tersebut, lalu membawanya pulang dan menyembunyikannya di lumbung padi yang berada di kolong rumahnya.
Setelah itu, Lahilote bergegas kembali ke telaga. Setibanya di sana, ia mendapati ketujuh bidadari tersebut sedang berkemas-kemas. Satu persatu mereka mengenakan pakaian masing-masing. Betapa terkejutnya salah satu dari bidadari itu ketika mengetahui sayapnya tidak ada di tempatnya. Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu adalah bidadari yang paling bungsu.
“Kak! Apakah kalian melihat sayap Adik?” tanya bidadari bungsu.
“Tidak, Dik!” jawab keenam kakaknya serentak.
“Tadi Adik meletakkannya di mana?” tanya bidadari sulung.
“Adik meletakkannya di atas batu ini bersama pakaian Kakak,” jawab bidadari bungsu dengan bingung.
Sementara bidadari bungsu sedang kebingungan mencari sayapnya, keenam kakaknya telah bersiap-siap terbang menuju Kahyangan karena hari sudah semakin sore.
“Bungsu! Kami harus meninggalkanmu sendirian di sini!” ujar si sulung seraya terbang ke angkasa bersama keempat adiknya yang lain.
“Bagaimana dengan nasib Adik, Kak?” teriak si bungsu mengiba.
“Maafkan kami, Dik! Kami tidak bisa membantumu. Jagalah dirimu baik-baik!” seru putri sulung.
Si Bungsu hanya bisa berdiri terpaku memandangi keenam kakaknya yang terbang ke angkasa. Ketika mereka menghilang dari pandangannya, ia pun menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
“Ayah.... Ibu...! Tolonglah aku! Aku tidak mau tinggal sendirian di sini,” keluh si Bungsu.
Sementara itu, Lahilote yang melihat si Bungsu bersedih segera keluar dari persembunyiannya, lalu menghampirinya.
“Hai, gadis cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu bersedih dan menangis?” tanya Lahilote seolah-olah tidak mengetahui peristiwa yang menimpa bidadari itu.
Gadis cantik itu tidak menjawab. Ia terus menangis tersedu-sedu. Ia baru berhenti menangis setelah Lahilote membujuk dan merayunya berkali-kali.
“Nama saya Boilode Hulawa dari Negeri Kahyangan,” kata bidadari itu memperkenalkan diri.
Begitu pula sebaliknya, Lahilote memperkenalkan diri kepada Boilode Hulawa, lalu kembali menghiburnya.
“Wahai, Boilode Hulawa! Dinda tidak perlu bersedih hati tinggal di bumi ini. Kanda akan menolong Dinda,” hibur Lahilote.
“Tapi, Kanda! Dinda tidak mempunyai sanak saudara dan keluarga di negeri ini,” kata bidadari bungsu itu dengan hati sedih.
“Tenanglah! Dinda tidak usah khawatir! Dinda boleh tinggal bersama Kanda di rumah Kanda,” bujuk Lahilote.
Mendengar bujukan itu, hati Putri Boilode Hulawa yang tadi sedih berubah menjadi senang dan gembira. Lahilote pun mengajak Putri Boilode Hulawa ke rumahnya. Selang beberapa lama tinggal bersama, Lahilote menyampaikan keinginannya untuk menikahi putri kahyangan itu.
“Dinda! Maukah Dinda menikah dengan Kanda?” bujuk Lahilote.
Putri Boilode tersenyum, lalu menjawab:
“Wahai Kanda! Dinda tidak mempunyai alasan untuk menolak keinginan Kanda. Kepada siapa lagi Dinda harus menggantungkan nasib di negeri ini selain kepada Kanda,” jawab Putri Boilode menerima lamaran Lahilote.
Akhirnya, Lahilote dan Putri Boilode pun menikah. Mereka hidup rukun dan damai. Sejak itu, Lahilote semakin rajin bekerja. Ia tidak hanya berburu, tapi juga bercocok tanam. Sementara Boilode Hulawa sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.
Setahun kemudian, Boilode mulai merasa bosan dan capek melakukan pekerjaan-pekerjaan berat tersebut. Ia baru merasakan betapa beratnya hidup di dunia karena harus bekerja keras untuk mencari nafkah. Namun, dengan kesaktiannya, ia dapat memasak sebutir beras yang mampu mencukupi makan mereka berdua dalam satu hari. Dengan begitu, ia bisa menghemat tenaga dan makanan. Tapi, hal itu tidak boleh diketahui suaminya agar kesaktiannya tidak hilang.
Suatu hari, Lahilote melihat ada sesuatu yang aneh pada istrinya. Ia berpikir, sudah beberapa bulan istrinya memasak nasi untuknya, tapi padi di lumbung tidak pernah berkurang. Ia juga tidak pernah melihat istrinya menumbuk padi sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu, timbullah niatnya untuk mengawasi perilaku sehari-hari istrinya. Ia yakin bahwa istrinya sedang merahasiakan sesuatu kepadanya.
Keesokan harinya, Lahilote berpura-pura berpamitan kepada istrinya untuk pergi ke kebun. Tanpa curiga sedikit pun, Boilode Huwala segera memasak satu butir beras dalam periuk dan menutupinya rapat-rapat. Sambil menunggu nasi itu masak, ia pergi ke sumur mencuci pakaian. Pada saat itulah, Lahilote yang bersembunyi di balik sebuah pohon besar di belakang rumahnya segera menyelinap masuk ke dapur. Betapa terkejutnya ia ketika membuka tutup periku itu. Ia melihat isi periuk itu hanya sebutir beras.
“Oh, pantas saja padi di lumbung tidak pernah berkurang, setiap hari istriku hanya memasak sebutir beras. Tapi, mengapa dia merahasiakan hal itu kepadaku?” pikirnya seraya meninggalkan dapur.
Tak berapa lama kemudian, Boilode kembali dari sumur. Alangkah terkejutnya ia ketika masuk ke dapur memeriksa isi periuknya.
“Waduh, celaka! Kenapa berasnya masih tetap sebutir? Apakah suamiku telah melihat isi periuk ini?” pikirnya.
Setelah Putri Boilode Hulawa membiarkannya beberapa saat di atas tungku, beras itu tetap tidak berubah. Melihat hal itu, seluruh tubuhnya menjadi lemas dan tidak bergairah. Ia hanya bisa duduk termenung menyesali nasibnya karena rahasianya terbongkar. Dengan demikian, ia harus kembali bekerja keras.
Sejak itu, Putri Boilode harus menumbuk padi setiap hari untuk dimasak. Semakin hari padi dalam lumbung mereka pun semakin berkurang. Setahun kemudian, persediaan padi di lumbung mereka habis. Pada saat akan mengambil padi yang terakhir untuk ditumbuk, ia melihat sebuah benda di bawah lapisan lumbung itu.
“Hei, benda apa itu? Sepertinya aku pernah melihatnya?” gumam Putri Boilode.
Setelah memeriksa dan mengamati benda itu dengan seksama, Boilode tersentak kaget. Rupanya, benda itu tidak lain adalah sayapnya yang telah lama hilang. Melihat sayap itu, maka tahulah ia bahwa suaminyalah yang telah mengambil sayapnya. Ia tidak dapat lagi menyembunyikan kegembiraannya. Keinginannya untuk kembali ke negerinya pun semakin meluap-luap. Namun, ketika mengambil sayap itu hatinya kembali bersedih, karena beberapa bagian sayapnya sudah sobek.
“Wah, sayap ini perlu dijahit. Tapi, bagaimana caranya agar tidak ketahuan suamiku?” kata Boilode dengan bingung.
Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan sebuah cara. Ia akan berpura-pura mual dan mengaku hamil di hadapan suaminya. Dengan begitu, Lahilote pasti akan merasa senang dan bahagia, dan akan memenuhi segala keinginan istrinya.
Keesokan harinya, Boilode berpura-pura sedang mual dan ingin sekali makan ikan laut.
“Kanda! Perut Dinda terasa mual. Dinda ingin sekali makan ikan laut. Maukah Kanda pergi mencarikannya?” pinta Boilode dengan pura-pura.
Tanpa curiga sedikit pun dan dengan senang hati, Lahilote pun segera berangkat ke laut untuk memenuhi permitaan Boilode. Setelah suaminya pergi, ia segera menjahit bagian-bagian sayapnya yang sobek. Akhirnya, berkat usaha dan ketekunannya, sayapnya pun kembali seperti semula dan dapat digunakan untuk kembali ke negerinya. Sebelum terbang ke Kahyangan, ia berpesan kepada lumbung padi milik suaminya.
“Wahai, Lumbung Padi! Jika suamiku telah kembali dari laut dan menanyakan diriku, tolong jangan engkau beritahu dia bahwa aku sudah menemukan sayapku. Jangan pula engkau beritahu dia bahwa aku telah kembali ke negeriku,” ujar Boilode.
Setelah itu, Boilode juga berpesan kepada pintu, jendela, dapur, belanga, dan semua perabot tanggan lainnya dengan pesan yang sama, yaitu agar mereka merahasiakan kepergiannya kepada Lahilote. Selain itu, ia juga berpesan kepada tetumbuhan, rerumputan, dan pepohonan dengan pesan yang sama. Hanya kepada pohon Hutia Mala (rotan) ia tidak berpesan, karena menurut cerita, Hutia Mala adalah satu-satunya pohon yang tidak mau dipengaruhi oleh siapa pun. Ia akan selalu jujur dan berkata sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Setelah itu, Boilode Hulawa pun terbang ke angkasa. Sebelum sampai ke angkasa, terlebih dahulu ia melihat keadaan suaminya yang sedang mencari ikan di laut. Dari udara, ia melihat suaminya sedang beristirahat dan tidur terlentang di pantai. Ia pun meludahi suaminya dengan luwa la pomama (air sirih pinang) dan tepat mengenai dadanya. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan menuju ke pintu langit. Sementara itu, Lahilote segera terbangun begitu merasakan ada air hangat di atas dadanya. Setelah mengamati dan mencium bau air luwa lo pomama itu, ia yakin bahwa luwa itu keluar dari mulut istrinya.
“Wah, jangan-jangan istriku telah menemukan sayapnya?” pikirnya.
Tanpa berpikir panjang, Lahilote segera berlari kembali ke rumahnya dan memeriksa lumbung padinya. Ternyata dugaannya benar, sayap itu tidak ada lagi di tempatnya. Mengetahui hal itu, lemaslah sekujur tubuhnya. Untuk memantapkan keyakinannya, ia segera mencari keterangan dengan menanyai semua yang ada di sekitarnya, namun tak satu pun yang mau memberitahukan keberadaan istrinya. Meski demikian, ia tidak mau putus asa. Ia terus berusaha mencari keterangan ke sana kemari tanpa kenal lelah.
Setelah berhari-hari berjalan keluar masuk hutan, akhirnya Lahilote bertemu dengan Hutia Mala dan mengetahui bahwa istrinya telah kembali ke Kahyangan. Lahilote kemudian meminta pertolongan kepada Hutia Mala agar mengantarnya ke Kahyangan. Pohon ajaib itu bersedia menolongnya, tapi Lahilote harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: pomala-malabi`u ode Pakusina, wau Dakusina, ode Masariku, wawu Magaribu (besedia dihempaskan ke negeri Palestina, ke Damaskus, ke Timur, ke Barat, dan ke seluruh alam empat penjuru); mencari seekor kucing kecintaan nabi untuk ditugaskan menjaga batang Hutia Mala agar tidak dimakan tikus; dan menyediakan tujuh buah kelapa yang kulitnya keras bila dikupas (bongo pi`ita) untuk makanan kucing tersebut.
Tanpa berpikir panjang, Lahilote menyanggupi persyaratan tersebut. Setelah menyiapkan segala persyaratan itu, ia pun segera memanjat pohon Hutia Mala. Ketika berada di atas pohon, ia dihempaskan secepat kilat ke seluruh penjuru arah mata angin. Betapa ngeri perasaan Lahilote melalui ujian tersebut. Ia berpegang sekuat tenaga agar tubuhnya tidak terlempar. Setelah Hutia Mala berdiri tegak dan diam, Lahilote pun melanjutkan perjalanan menuju Negeri Kahyangan. Kedatangannya pun langsung diketahui oleh Boilode Hulawa dan saudara-saudaranya. Namun, Boilode Hulawa berpura-pura tidak mengenal suaminya. Sementara Lahilote kebingungan mengenali istrinya di antara tujuh wanita cantik yang ada di hadapannya, karena paras dan kecantikan mereka sama persis sehingga sulit untuk membedakannya.
Lahilote semakin bingung karena perutnya terasa sangat lapar. Ia akan mati kelaparan jika tidak diberi makan. Ia ingin meminta bantuan kepada istrinya, namun ia tidak mengetahui yang mana istrinya di antara ke tujuh bidadari tersebut. Karena tidak kuat lagi menahan rasa lapar, ia pun menangis tersedu-sedu. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki tua datang menghampirinya.
“Hai, anak manusia! Apa yang engkau risaukan, sehingga bersedih begitu?” tanya lelaki itu.
Lahilote pun menceritakan asal usul dan kerisauan hatinya kepada lelaki tua itu.
“Tenanglah, Anak Muda! Pergilah menemui mereka! Perhatikanlah siapa di antara mereka yang dihinggapi kunang-kunang di antara garis keningnya, maka itulah istrimu,” ujar lelaki tua itu seraya menghilang entah ke mana.
Dengan petunjuk itu, Lahilote kembali menemui ketujuh bidadari itu. Begitu bertemu dan melihat salah seorang di antara mereka dihinggapi seekorang kunang-kunang, ia segera memeluknya dengan erat.
“Istriku, Kanda sangat merindukanmu,” ucap Lahilote sambil meneteskan air mata.
“Tidak! Aku bukanlah istrimu,” sanggah putri itu sambil meronta-ronta.
Sebenarnya putri itu tidak lain adalah Boilode Hulawa. Namun, ia berusaha mengelak dan menghindari Lahilote, karena teringat penderitaannya ketika ia berada di bumi. Akhirnya ia mengalah setelah Lahilote mendesaknya dan tidak mau melepaskan pelukannya. Meski demikian, ia tidak mau menerimanya begitu saja. Lahilote harus memenuhi beberapa persyaratan jika Lahilote masih ingin memperistrinya. Persyaratan pertama, Lahilote harus menebang sebuah pohon besar dengan menggunakan pisau kecil.
“Bagaimana mungkin sebilah pisau kecil dapat menebang sebuah pohon besar?” pikirnya dengan bingung.
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba seekor burung belatuk datang menghampiri dan memberinya pertolongan. Burung belatuk itu bersama kawanannya segera mematuk batang pohon itu hingga tumbang. Setelah itu, Lahilota segera melaksanakan persyaratan berikutnya, yaitu mengangkat kayu besar itu ke suatu tempat tanpa meninggalkan setangkai dan sehelai pun daunnya. Lahilote pun berhasil melaksanakan syarat itu atas bantuan seekor ular besar. Demikian seterusnya Lahilote selalu mendapat pertolongan sampai berhasil memenuhi semua persyaratan Boilode Hulawa.
Boilode Hulawa pun menepati janjinya, yakni bersedia menjalin hubungan suami-istri dengan Lahilote. Sejak itu, Lahilote tinggal di Negeri Kahyangan dan diperlakukan layaknya seorang pangeran. Mereka hidup rukun, damai, dan bahagia. Namun, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama karena ditemukannya uban di kepala Lahilote. Menurut adat yang berlaku, tak seorang pun penghuni Kahyangan yang boleh beruban, karena hal itu pertanda ketuaan. Penduduk Kahyangan harus menjalani kehidupan abadi dan tetap awet muda. Hal itulah yang membuat Boilode Hulawa menjadi cemas.
“Kanda! Kita harus merahasiakan hal ini. Jika salah seorang penghuni negeri ini mengetahui ada uban di kepala Kanda, maka celakalah kita. Kita akan diusir dari negeri ini,” ujar Boilde Hulawa.
“Bagaimana kalau uban Kanda kita bakar saja, Dinda?” usul Lahilote.
“Jangan, Kanda! Itu akan lebih berbahaya, karena keluarga Dinda akan mencium bau rambut terbakar yang sangat menyengat,” kata Lahilote.
Mereka pun bingung harus berbuat apa. Setelah berpikir keras, tidak ada jalan lain yang harus mereka tempuh kecuali kembali ke bumi. Ketika tiba di pintu langit, mereka sudah tidak mendapati pohon Hutia Mala yang dulu digunakan oleh Lahilote. Pohon Hutia Mala sudah lapuk dimakan tikus, karena kucing yang menjaganya sudah pergi akibat kehabisan makanan.
“Waduh, Dinda! Bagaimana caranya Kanda bisa turun ke bumi? Pohon Hutia Mala itu sudah tidak ada lagi, sedangkan Kanda tidak mempunyai sayap seperti Dinda,” tanya Lahilote dengan bingung
Sejenak Boilode Hulawa terdiam. Setelah berpikir keras, ia pun menemukan sebuah cara, yaitu dengan menjadikan rambutnya sebagai jalan bagi Lahilote untuk sampai ke bumi. Satu persatu Boilode mulai mencabut rambutnya lalu menyambungnya. Setelah itu, ia menyuruh Lahilote berpegangan dan bergelantungan pada ujung rambut itu. Boilode telah mencabut seluruh rambut di kepalanya hingga menjadi gundul, namun Lahilote belum juga sampai ke bumi. Akhirnya, Lahilote melayang-layang di antara langit dan bumi. Tubuhnya terhempas ke seluruh penjuru arah karena tertiup angin.
Dalam keadaan demikian, tiba-tiba cuaca berubah. Langit menjadi mendung, angin topan bertiup kencang disertai hujan deras. Selang beberapa saat kemudian. tiba-tiba petir datang menyambar tubuh Lahilote hingga terbelah menjadi dua. Tak ayal lagi, ia pun jatuh ke bumi dalam posisi berdiri. Tubuhnya bagian kiri terhempas di Pulau Boalemo, Sulawesi Tengah, sedangkan tubuhnya bagian kanan terhempas di Pantai Pohe yang ditandai dengan adanya telapak kaki kanan di atas sebuah batu. Oleh masyarakat setempat batu itu diberi nama Botu Liodu Lei Lahilote.
* * *
Demikian cerita legenda Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote dari Provinsi Gorontalo, Indonesia. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas tergambar pada sikap dan perilaku Lahilote dan Boilode Hulawa. Dengang tekad dan kerja keras melewati berbagai rintangan dan ujian, Lohilote berhasil menemui istrinya di Negeri Kahyangan. Sementara Boilode Hulawa adalah seorang istri yang setia kepada suami. Ia rela mengorbankan segala yang dimilikinya, termasuk mengorbankan seluruh rambut di kepalanya hingga menjadi gundul demi menyelamatkan nyawa Lahilote, meskipun pada akhirnya suaminya itu meninggal dunia akibat terkena petir.
Suatu hari, ketika hendak beristirahat di tepi telaga di tengah hutan, Lahilote mendengar suara gadis-gadis yang sedang ramai bercanda.
“Hai, suara siapa itu? Dari mana sumber suara itu?” tanya Lahilote dalam hati.
Lahilote pun segera mencari sumber suara itu. Betapa terkejutnya ia ketika mengetahui bahwa sumber suara tersebut berasal dari telaga itu. Ia kemudian bersembunyi di balik sebuah pohon besar, lalu mengintip untuk memeriksa keadaan. Ia tersentak kaget melihat tujuh gadis cantik sedang asyik mandi dan bersenda gurau di telaga itu. Ia mengawasi setiap gerak-gerik mereka tanpa berkedip sedikit pun. Rupanya, pemuda tampan itu terpesona melihat kecantikan para gadis tersebut.
Mulanya, Lahilote mengira ketujuh gadis itu penduduk bumi. Namun, setelah melihat tumpukan pakaian dan sayap yang berada di tepi telaga, barulah ia sadar bahwa ternyata mereka adalah Putri lo Owabu (putri kahyangan/bidadari). Karena terposana melihat kecantikan para bidadari tersebut, maka timbullah niatnya untuk menahan salah seorang dari mereka untuk dijadikan istri. Dengan kesaktiannya, ia segera mengubah wujudnya menjadi seekor ayam hutan jantan. Kemudian ia berjalan mendekati tempat tumpukan pakaian dan sayap itu sambil mengais-ngaiskan kakinya di tanah. Pada saat ketujuh putri kahyangan tersebut menyelam, dengan cepat Lahilote mengambil salah satu dari tujuh sayap tersebut, lalu membawanya pulang dan menyembunyikannya di lumbung padi yang berada di kolong rumahnya.
Setelah itu, Lahilote bergegas kembali ke telaga. Setibanya di sana, ia mendapati ketujuh bidadari tersebut sedang berkemas-kemas. Satu persatu mereka mengenakan pakaian masing-masing. Betapa terkejutnya salah satu dari bidadari itu ketika mengetahui sayapnya tidak ada di tempatnya. Rupanya, bidadari yang kehilangan sayap itu adalah bidadari yang paling bungsu.
“Kak! Apakah kalian melihat sayap Adik?” tanya bidadari bungsu.
“Tidak, Dik!” jawab keenam kakaknya serentak.
“Tadi Adik meletakkannya di mana?” tanya bidadari sulung.
“Adik meletakkannya di atas batu ini bersama pakaian Kakak,” jawab bidadari bungsu dengan bingung.
Sementara bidadari bungsu sedang kebingungan mencari sayapnya, keenam kakaknya telah bersiap-siap terbang menuju Kahyangan karena hari sudah semakin sore.
“Bungsu! Kami harus meninggalkanmu sendirian di sini!” ujar si sulung seraya terbang ke angkasa bersama keempat adiknya yang lain.
“Bagaimana dengan nasib Adik, Kak?” teriak si bungsu mengiba.
“Maafkan kami, Dik! Kami tidak bisa membantumu. Jagalah dirimu baik-baik!” seru putri sulung.
Si Bungsu hanya bisa berdiri terpaku memandangi keenam kakaknya yang terbang ke angkasa. Ketika mereka menghilang dari pandangannya, ia pun menangis tersedu-sedu meratapi nasibnya.
“Ayah.... Ibu...! Tolonglah aku! Aku tidak mau tinggal sendirian di sini,” keluh si Bungsu.
Sementara itu, Lahilote yang melihat si Bungsu bersedih segera keluar dari persembunyiannya, lalu menghampirinya.
“Hai, gadis cantik! Siapa namamu? Kenapa kamu bersedih dan menangis?” tanya Lahilote seolah-olah tidak mengetahui peristiwa yang menimpa bidadari itu.
Gadis cantik itu tidak menjawab. Ia terus menangis tersedu-sedu. Ia baru berhenti menangis setelah Lahilote membujuk dan merayunya berkali-kali.
“Nama saya Boilode Hulawa dari Negeri Kahyangan,” kata bidadari itu memperkenalkan diri.
Begitu pula sebaliknya, Lahilote memperkenalkan diri kepada Boilode Hulawa, lalu kembali menghiburnya.
“Wahai, Boilode Hulawa! Dinda tidak perlu bersedih hati tinggal di bumi ini. Kanda akan menolong Dinda,” hibur Lahilote.
“Tapi, Kanda! Dinda tidak mempunyai sanak saudara dan keluarga di negeri ini,” kata bidadari bungsu itu dengan hati sedih.
“Tenanglah! Dinda tidak usah khawatir! Dinda boleh tinggal bersama Kanda di rumah Kanda,” bujuk Lahilote.
Mendengar bujukan itu, hati Putri Boilode Hulawa yang tadi sedih berubah menjadi senang dan gembira. Lahilote pun mengajak Putri Boilode Hulawa ke rumahnya. Selang beberapa lama tinggal bersama, Lahilote menyampaikan keinginannya untuk menikahi putri kahyangan itu.
“Dinda! Maukah Dinda menikah dengan Kanda?” bujuk Lahilote.
Putri Boilode tersenyum, lalu menjawab:
“Wahai Kanda! Dinda tidak mempunyai alasan untuk menolak keinginan Kanda. Kepada siapa lagi Dinda harus menggantungkan nasib di negeri ini selain kepada Kanda,” jawab Putri Boilode menerima lamaran Lahilote.
Akhirnya, Lahilote dan Putri Boilode pun menikah. Mereka hidup rukun dan damai. Sejak itu, Lahilote semakin rajin bekerja. Ia tidak hanya berburu, tapi juga bercocok tanam. Sementara Boilode Hulawa sibuk mengurus pekerjaan rumah tangga seperti memasak, mencuci, dan membersihkan rumah.
Setahun kemudian, Boilode mulai merasa bosan dan capek melakukan pekerjaan-pekerjaan berat tersebut. Ia baru merasakan betapa beratnya hidup di dunia karena harus bekerja keras untuk mencari nafkah. Namun, dengan kesaktiannya, ia dapat memasak sebutir beras yang mampu mencukupi makan mereka berdua dalam satu hari. Dengan begitu, ia bisa menghemat tenaga dan makanan. Tapi, hal itu tidak boleh diketahui suaminya agar kesaktiannya tidak hilang.
Suatu hari, Lahilote melihat ada sesuatu yang aneh pada istrinya. Ia berpikir, sudah beberapa bulan istrinya memasak nasi untuknya, tapi padi di lumbung tidak pernah berkurang. Ia juga tidak pernah melihat istrinya menumbuk padi sebagaimana yang dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu, timbullah niatnya untuk mengawasi perilaku sehari-hari istrinya. Ia yakin bahwa istrinya sedang merahasiakan sesuatu kepadanya.
Keesokan harinya, Lahilote berpura-pura berpamitan kepada istrinya untuk pergi ke kebun. Tanpa curiga sedikit pun, Boilode Huwala segera memasak satu butir beras dalam periuk dan menutupinya rapat-rapat. Sambil menunggu nasi itu masak, ia pergi ke sumur mencuci pakaian. Pada saat itulah, Lahilote yang bersembunyi di balik sebuah pohon besar di belakang rumahnya segera menyelinap masuk ke dapur. Betapa terkejutnya ia ketika membuka tutup periku itu. Ia melihat isi periuk itu hanya sebutir beras.
“Oh, pantas saja padi di lumbung tidak pernah berkurang, setiap hari istriku hanya memasak sebutir beras. Tapi, mengapa dia merahasiakan hal itu kepadaku?” pikirnya seraya meninggalkan dapur.
Tak berapa lama kemudian, Boilode kembali dari sumur. Alangkah terkejutnya ia ketika masuk ke dapur memeriksa isi periuknya.
“Waduh, celaka! Kenapa berasnya masih tetap sebutir? Apakah suamiku telah melihat isi periuk ini?” pikirnya.
Setelah Putri Boilode Hulawa membiarkannya beberapa saat di atas tungku, beras itu tetap tidak berubah. Melihat hal itu, seluruh tubuhnya menjadi lemas dan tidak bergairah. Ia hanya bisa duduk termenung menyesali nasibnya karena rahasianya terbongkar. Dengan demikian, ia harus kembali bekerja keras.
Sejak itu, Putri Boilode harus menumbuk padi setiap hari untuk dimasak. Semakin hari padi dalam lumbung mereka pun semakin berkurang. Setahun kemudian, persediaan padi di lumbung mereka habis. Pada saat akan mengambil padi yang terakhir untuk ditumbuk, ia melihat sebuah benda di bawah lapisan lumbung itu.
“Hei, benda apa itu? Sepertinya aku pernah melihatnya?” gumam Putri Boilode.
Setelah memeriksa dan mengamati benda itu dengan seksama, Boilode tersentak kaget. Rupanya, benda itu tidak lain adalah sayapnya yang telah lama hilang. Melihat sayap itu, maka tahulah ia bahwa suaminyalah yang telah mengambil sayapnya. Ia tidak dapat lagi menyembunyikan kegembiraannya. Keinginannya untuk kembali ke negerinya pun semakin meluap-luap. Namun, ketika mengambil sayap itu hatinya kembali bersedih, karena beberapa bagian sayapnya sudah sobek.
“Wah, sayap ini perlu dijahit. Tapi, bagaimana caranya agar tidak ketahuan suamiku?” kata Boilode dengan bingung.
Setelah berpikir keras, akhirnya ia menemukan sebuah cara. Ia akan berpura-pura mual dan mengaku hamil di hadapan suaminya. Dengan begitu, Lahilote pasti akan merasa senang dan bahagia, dan akan memenuhi segala keinginan istrinya.
Keesokan harinya, Boilode berpura-pura sedang mual dan ingin sekali makan ikan laut.
“Kanda! Perut Dinda terasa mual. Dinda ingin sekali makan ikan laut. Maukah Kanda pergi mencarikannya?” pinta Boilode dengan pura-pura.
Tanpa curiga sedikit pun dan dengan senang hati, Lahilote pun segera berangkat ke laut untuk memenuhi permitaan Boilode. Setelah suaminya pergi, ia segera menjahit bagian-bagian sayapnya yang sobek. Akhirnya, berkat usaha dan ketekunannya, sayapnya pun kembali seperti semula dan dapat digunakan untuk kembali ke negerinya. Sebelum terbang ke Kahyangan, ia berpesan kepada lumbung padi milik suaminya.
“Wahai, Lumbung Padi! Jika suamiku telah kembali dari laut dan menanyakan diriku, tolong jangan engkau beritahu dia bahwa aku sudah menemukan sayapku. Jangan pula engkau beritahu dia bahwa aku telah kembali ke negeriku,” ujar Boilode.
Setelah itu, Boilode juga berpesan kepada pintu, jendela, dapur, belanga, dan semua perabot tanggan lainnya dengan pesan yang sama, yaitu agar mereka merahasiakan kepergiannya kepada Lahilote. Selain itu, ia juga berpesan kepada tetumbuhan, rerumputan, dan pepohonan dengan pesan yang sama. Hanya kepada pohon Hutia Mala (rotan) ia tidak berpesan, karena menurut cerita, Hutia Mala adalah satu-satunya pohon yang tidak mau dipengaruhi oleh siapa pun. Ia akan selalu jujur dan berkata sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya.
Setelah itu, Boilode Hulawa pun terbang ke angkasa. Sebelum sampai ke angkasa, terlebih dahulu ia melihat keadaan suaminya yang sedang mencari ikan di laut. Dari udara, ia melihat suaminya sedang beristirahat dan tidur terlentang di pantai. Ia pun meludahi suaminya dengan luwa la pomama (air sirih pinang) dan tepat mengenai dadanya. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan menuju ke pintu langit. Sementara itu, Lahilote segera terbangun begitu merasakan ada air hangat di atas dadanya. Setelah mengamati dan mencium bau air luwa lo pomama itu, ia yakin bahwa luwa itu keluar dari mulut istrinya.
“Wah, jangan-jangan istriku telah menemukan sayapnya?” pikirnya.
Tanpa berpikir panjang, Lahilote segera berlari kembali ke rumahnya dan memeriksa lumbung padinya. Ternyata dugaannya benar, sayap itu tidak ada lagi di tempatnya. Mengetahui hal itu, lemaslah sekujur tubuhnya. Untuk memantapkan keyakinannya, ia segera mencari keterangan dengan menanyai semua yang ada di sekitarnya, namun tak satu pun yang mau memberitahukan keberadaan istrinya. Meski demikian, ia tidak mau putus asa. Ia terus berusaha mencari keterangan ke sana kemari tanpa kenal lelah.
Setelah berhari-hari berjalan keluar masuk hutan, akhirnya Lahilote bertemu dengan Hutia Mala dan mengetahui bahwa istrinya telah kembali ke Kahyangan. Lahilote kemudian meminta pertolongan kepada Hutia Mala agar mengantarnya ke Kahyangan. Pohon ajaib itu bersedia menolongnya, tapi Lahilote harus memenuhi beberapa persyaratan yaitu: pomala-malabi`u ode Pakusina, wau Dakusina, ode Masariku, wawu Magaribu (besedia dihempaskan ke negeri Palestina, ke Damaskus, ke Timur, ke Barat, dan ke seluruh alam empat penjuru); mencari seekor kucing kecintaan nabi untuk ditugaskan menjaga batang Hutia Mala agar tidak dimakan tikus; dan menyediakan tujuh buah kelapa yang kulitnya keras bila dikupas (bongo pi`ita) untuk makanan kucing tersebut.
Tanpa berpikir panjang, Lahilote menyanggupi persyaratan tersebut. Setelah menyiapkan segala persyaratan itu, ia pun segera memanjat pohon Hutia Mala. Ketika berada di atas pohon, ia dihempaskan secepat kilat ke seluruh penjuru arah mata angin. Betapa ngeri perasaan Lahilote melalui ujian tersebut. Ia berpegang sekuat tenaga agar tubuhnya tidak terlempar. Setelah Hutia Mala berdiri tegak dan diam, Lahilote pun melanjutkan perjalanan menuju Negeri Kahyangan. Kedatangannya pun langsung diketahui oleh Boilode Hulawa dan saudara-saudaranya. Namun, Boilode Hulawa berpura-pura tidak mengenal suaminya. Sementara Lahilote kebingungan mengenali istrinya di antara tujuh wanita cantik yang ada di hadapannya, karena paras dan kecantikan mereka sama persis sehingga sulit untuk membedakannya.
Lahilote semakin bingung karena perutnya terasa sangat lapar. Ia akan mati kelaparan jika tidak diberi makan. Ia ingin meminta bantuan kepada istrinya, namun ia tidak mengetahui yang mana istrinya di antara ke tujuh bidadari tersebut. Karena tidak kuat lagi menahan rasa lapar, ia pun menangis tersedu-sedu. Beberapa saat kemudian, seorang lelaki tua datang menghampirinya.
“Hai, anak manusia! Apa yang engkau risaukan, sehingga bersedih begitu?” tanya lelaki itu.
Lahilote pun menceritakan asal usul dan kerisauan hatinya kepada lelaki tua itu.
“Tenanglah, Anak Muda! Pergilah menemui mereka! Perhatikanlah siapa di antara mereka yang dihinggapi kunang-kunang di antara garis keningnya, maka itulah istrimu,” ujar lelaki tua itu seraya menghilang entah ke mana.
Dengan petunjuk itu, Lahilote kembali menemui ketujuh bidadari itu. Begitu bertemu dan melihat salah seorang di antara mereka dihinggapi seekorang kunang-kunang, ia segera memeluknya dengan erat.
“Istriku, Kanda sangat merindukanmu,” ucap Lahilote sambil meneteskan air mata.
“Tidak! Aku bukanlah istrimu,” sanggah putri itu sambil meronta-ronta.
Sebenarnya putri itu tidak lain adalah Boilode Hulawa. Namun, ia berusaha mengelak dan menghindari Lahilote, karena teringat penderitaannya ketika ia berada di bumi. Akhirnya ia mengalah setelah Lahilote mendesaknya dan tidak mau melepaskan pelukannya. Meski demikian, ia tidak mau menerimanya begitu saja. Lahilote harus memenuhi beberapa persyaratan jika Lahilote masih ingin memperistrinya. Persyaratan pertama, Lahilote harus menebang sebuah pohon besar dengan menggunakan pisau kecil.
“Bagaimana mungkin sebilah pisau kecil dapat menebang sebuah pohon besar?” pikirnya dengan bingung.
Di tengah kebingungannya, tiba-tiba seekor burung belatuk datang menghampiri dan memberinya pertolongan. Burung belatuk itu bersama kawanannya segera mematuk batang pohon itu hingga tumbang. Setelah itu, Lahilota segera melaksanakan persyaratan berikutnya, yaitu mengangkat kayu besar itu ke suatu tempat tanpa meninggalkan setangkai dan sehelai pun daunnya. Lahilote pun berhasil melaksanakan syarat itu atas bantuan seekor ular besar. Demikian seterusnya Lahilote selalu mendapat pertolongan sampai berhasil memenuhi semua persyaratan Boilode Hulawa.
Boilode Hulawa pun menepati janjinya, yakni bersedia menjalin hubungan suami-istri dengan Lahilote. Sejak itu, Lahilote tinggal di Negeri Kahyangan dan diperlakukan layaknya seorang pangeran. Mereka hidup rukun, damai, dan bahagia. Namun, kebahagiaan tersebut tidak berlangsung lama karena ditemukannya uban di kepala Lahilote. Menurut adat yang berlaku, tak seorang pun penghuni Kahyangan yang boleh beruban, karena hal itu pertanda ketuaan. Penduduk Kahyangan harus menjalani kehidupan abadi dan tetap awet muda. Hal itulah yang membuat Boilode Hulawa menjadi cemas.
“Kanda! Kita harus merahasiakan hal ini. Jika salah seorang penghuni negeri ini mengetahui ada uban di kepala Kanda, maka celakalah kita. Kita akan diusir dari negeri ini,” ujar Boilde Hulawa.
“Bagaimana kalau uban Kanda kita bakar saja, Dinda?” usul Lahilote.
“Jangan, Kanda! Itu akan lebih berbahaya, karena keluarga Dinda akan mencium bau rambut terbakar yang sangat menyengat,” kata Lahilote.
Mereka pun bingung harus berbuat apa. Setelah berpikir keras, tidak ada jalan lain yang harus mereka tempuh kecuali kembali ke bumi. Ketika tiba di pintu langit, mereka sudah tidak mendapati pohon Hutia Mala yang dulu digunakan oleh Lahilote. Pohon Hutia Mala sudah lapuk dimakan tikus, karena kucing yang menjaganya sudah pergi akibat kehabisan makanan.
“Waduh, Dinda! Bagaimana caranya Kanda bisa turun ke bumi? Pohon Hutia Mala itu sudah tidak ada lagi, sedangkan Kanda tidak mempunyai sayap seperti Dinda,” tanya Lahilote dengan bingung
Sejenak Boilode Hulawa terdiam. Setelah berpikir keras, ia pun menemukan sebuah cara, yaitu dengan menjadikan rambutnya sebagai jalan bagi Lahilote untuk sampai ke bumi. Satu persatu Boilode mulai mencabut rambutnya lalu menyambungnya. Setelah itu, ia menyuruh Lahilote berpegangan dan bergelantungan pada ujung rambut itu. Boilode telah mencabut seluruh rambut di kepalanya hingga menjadi gundul, namun Lahilote belum juga sampai ke bumi. Akhirnya, Lahilote melayang-layang di antara langit dan bumi. Tubuhnya terhempas ke seluruh penjuru arah karena tertiup angin.
Dalam keadaan demikian, tiba-tiba cuaca berubah. Langit menjadi mendung, angin topan bertiup kencang disertai hujan deras. Selang beberapa saat kemudian. tiba-tiba petir datang menyambar tubuh Lahilote hingga terbelah menjadi dua. Tak ayal lagi, ia pun jatuh ke bumi dalam posisi berdiri. Tubuhnya bagian kiri terhempas di Pulau Boalemo, Sulawesi Tengah, sedangkan tubuhnya bagian kanan terhempas di Pantai Pohe yang ditandai dengan adanya telapak kaki kanan di atas sebuah batu. Oleh masyarakat setempat batu itu diberi nama Botu Liodu Lei Lahilote.
* * *
Demikian cerita legenda Asal Mula Botu Liodu Lei Lahilote dari Provinsi Gorontalo, Indonesia. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas tergambar pada sikap dan perilaku Lahilote dan Boilode Hulawa. Dengang tekad dan kerja keras melewati berbagai rintangan dan ujian, Lohilote berhasil menemui istrinya di Negeri Kahyangan. Sementara Boilode Hulawa adalah seorang istri yang setia kepada suami. Ia rela mengorbankan segala yang dimilikinya, termasuk mengorbankan seluruh rambut di kepalanya hingga menjadi gundul demi menyelamatkan nyawa Lahilote, meskipun pada akhirnya suaminya itu meninggal dunia akibat terkena petir.
Kali Gajah Wong
Dalam kisah disebutkan, Kerajaan Mataram pernah berpusat di Kotagede, kurang lebih 7 kilometer arah tenggara kota Yogyakarta. Pada waktu itu Kerajaan Mataram dipimpin oleh Sultan Agung yang mempunyai beribu-ribu prajurit, termasuk pasukan berkuda dan pasukan gajah. Kanjeng sultan juga mempunyai abdi dalem-abdi dalem yang setia. Di antara abdi dalem itu terdapat seorang srati, bernama Ki Sapa Wira.
Setiap pagi, gajah Sultan yang bernama Kyai Dwipangga itu selalu dimandikan oleh Ki Sapa Wira di sungai di dekat Kraton Mataram. Oleh karena itu, gajah dari Negeri Siam itu selalu menurut dan terbiasa dengan perlakuan lembut Ki Sapa Wira. Pada suatu hari, Ki Sapa Wira sakit bisul di ketiaknya sehingga ia tidak bisa bergerak bebas, apalagi harus bekerja memandikan gajah. Oleh karena itu, Ki Sapa Wira menyuruh adik iparnya yang bernama Ki Kerti Pejok untuk menggantikan pekerjaannya. Sebenarnya, nama asli Ki Kerti Pejok adalah Kertiyuda. Namun karena terkena penyakit polio sejak lahir sehingga kalau berjalan meliuk-liuk pincang atau pejok menurut istilah Jawa, maka ia pun dipanggil Kerti Pejok.
“Tolong gantikan aku memandikan Kyai Dwipangga, Kerti,” kata Ki Sapa Wira.
“Baik, Kang,” jawab Ki Kerti. “Tapi bagaimana jika nanti Kyai Dwipangga tidak mau berendam, Kang?” sambungnya.
“Biasanya aku tepuk kaki belakangnya, lalu aku tarik buntutnya,” jawab Ki Sapa Wira.
Pagi itu Ki Kerti sudah berangkat menuju sungai bersama Ki Dwipangga. Badan gajah itu dua kali lipat badan kerbau, belalainya panjang, dan gadingnya berwarna putih mengkilat. Ki Kerti Pejok membawakan dua buah kelapa muda untuk makanan Ki Dwipangga agar gajah itu patuh kepadanya.
“Nih, ambillah untuk sarapan …,” celetuk Ki Kerti sambil melemparkan sebuah kelapa muda ke arah Ki Dwipangga.
“Prak ….” kelapa itu ditangkap oleh Ki Dwipangga dengan belalainya lalu dibanting pada batu besar di pinggir jalan. Dua buah kelapa sudah terbelah, dan Ki Dwipangga memakannya dengan lahap. Belum habis kelapa yang kedua, Ki Kerti sudah menyuruh Ki Dwipangga untuk berdiri dan berjalan lagi. Dipukulnya pantat gajah itu dengan cemeti yang dibawanya.
Setibanya di sungai, Ki Kerti menyuruh Ki Dwipangga untuk berendam. Sesaat kemudian, Ki Kerti segera memandikan gajah itu. Ia menggosok-gosok tubuh gajah tersebut dengan daun kelapa supaya lumpur-lumpur yang melekat cepat hilang. Setelah bersih, gajah itu segera dibawa pulang oleh Ki Kerti menuju kandangnya.
“Kang, gajahnya sudah saya mandikan sampai bersih,” lapor Ki Kerti kepada Ki Sapa Wira.
“Ya, terima kasih. Aku harap besok pagi kamu pergi memandikan Ki Dwipangga lagi. Setiap hari gajah itu harus dimandikan, apalagi pada saat musim kawin begini,” jawab Ki Sapa Wira sambil menghisap cerutunya.
Keesokan harinya, pagi-pagi Ki Kerti mendatangi rumah Ki Sapa Wira untuk menjemput Ki Dwipangga. Pagi itu langit kelihatan mendung, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Segera Ki Kerti Pejok membawa Ki Dwipangga menuju sungai. Kali ini Ki Kerti Pejok agak kecewa karena sungai tempat memandikan gajah tersebut kelihatan dangkal. ‘Mana mungkin dapat memandikan gajah jika untuk berendam pun tidak bisa,’ pikir Ki Kerti Pejok. Kemudian ia membawa Ki Dwipangga ke arah hilir untuk mencari genangan sungai yang dalam.
“Ah, di sini kelihatannya lebih dalam. Aku akan memandikan Ki Dwipangga di sini saja. Dasar, Kanjeng Sultan orang yang aneh. Sungai sekecil ini kok digunakan untuk memandikan gajah,” gerutu Ki Kerti Pejok sambil terus menggosok punggung Ki Dwipangga. Belum habis Ki Kerti Pejok menggerutu, tiba-tiba banjir bandang datang dari arah hulu.
“Hap … Hap … Tulung … Tuluuung …,” teriak Ki Kerti Pejok sambil melambai-lambaikan tangannya. Ia hanyut dan tenggelam bersama Ki Dwipangga hingga ke Laut Selatan. Keduanya pun mati karena tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya.
Untuk mengingat peristiwa tersebut, Sultan Agung menamakan sungai itu Kali Gajah Wong, karena kali itu telah menghanyutkan gajah dan wong. Sungai itu terletak di sebelah timur kota Yogyakarta. Konon, tempat Ki Kerti memandikan gajah itu saat ini bersebelahan dengan kebun binatang Gembiraloka.
Kanjeng : tuan.
Abdi dalem : pegawai istana, pembantu raja.
Srati : orang yang pekerjaannya mengurusi gajah.
Kang : kak, kakak, panggilan untuk kakak laki-laki.
Buntut : ekor.
Tulung : tolong.
Kali : sungai.
Wong : orang.
Setiap pagi, gajah Sultan yang bernama Kyai Dwipangga itu selalu dimandikan oleh Ki Sapa Wira di sungai di dekat Kraton Mataram. Oleh karena itu, gajah dari Negeri Siam itu selalu menurut dan terbiasa dengan perlakuan lembut Ki Sapa Wira. Pada suatu hari, Ki Sapa Wira sakit bisul di ketiaknya sehingga ia tidak bisa bergerak bebas, apalagi harus bekerja memandikan gajah. Oleh karena itu, Ki Sapa Wira menyuruh adik iparnya yang bernama Ki Kerti Pejok untuk menggantikan pekerjaannya. Sebenarnya, nama asli Ki Kerti Pejok adalah Kertiyuda. Namun karena terkena penyakit polio sejak lahir sehingga kalau berjalan meliuk-liuk pincang atau pejok menurut istilah Jawa, maka ia pun dipanggil Kerti Pejok.
“Tolong gantikan aku memandikan Kyai Dwipangga, Kerti,” kata Ki Sapa Wira.
“Baik, Kang,” jawab Ki Kerti. “Tapi bagaimana jika nanti Kyai Dwipangga tidak mau berendam, Kang?” sambungnya.
“Biasanya aku tepuk kaki belakangnya, lalu aku tarik buntutnya,” jawab Ki Sapa Wira.
Pagi itu Ki Kerti sudah berangkat menuju sungai bersama Ki Dwipangga. Badan gajah itu dua kali lipat badan kerbau, belalainya panjang, dan gadingnya berwarna putih mengkilat. Ki Kerti Pejok membawakan dua buah kelapa muda untuk makanan Ki Dwipangga agar gajah itu patuh kepadanya.
“Nih, ambillah untuk sarapan …,” celetuk Ki Kerti sambil melemparkan sebuah kelapa muda ke arah Ki Dwipangga.
“Prak ….” kelapa itu ditangkap oleh Ki Dwipangga dengan belalainya lalu dibanting pada batu besar di pinggir jalan. Dua buah kelapa sudah terbelah, dan Ki Dwipangga memakannya dengan lahap. Belum habis kelapa yang kedua, Ki Kerti sudah menyuruh Ki Dwipangga untuk berdiri dan berjalan lagi. Dipukulnya pantat gajah itu dengan cemeti yang dibawanya.
Setibanya di sungai, Ki Kerti menyuruh Ki Dwipangga untuk berendam. Sesaat kemudian, Ki Kerti segera memandikan gajah itu. Ia menggosok-gosok tubuh gajah tersebut dengan daun kelapa supaya lumpur-lumpur yang melekat cepat hilang. Setelah bersih, gajah itu segera dibawa pulang oleh Ki Kerti menuju kandangnya.
“Kang, gajahnya sudah saya mandikan sampai bersih,” lapor Ki Kerti kepada Ki Sapa Wira.
“Ya, terima kasih. Aku harap besok pagi kamu pergi memandikan Ki Dwipangga lagi. Setiap hari gajah itu harus dimandikan, apalagi pada saat musim kawin begini,” jawab Ki Sapa Wira sambil menghisap cerutunya.
Keesokan harinya, pagi-pagi Ki Kerti mendatangi rumah Ki Sapa Wira untuk menjemput Ki Dwipangga. Pagi itu langit kelihatan mendung, namun tidak ada tanda-tanda hujan akan turun. Segera Ki Kerti Pejok membawa Ki Dwipangga menuju sungai. Kali ini Ki Kerti Pejok agak kecewa karena sungai tempat memandikan gajah tersebut kelihatan dangkal. ‘Mana mungkin dapat memandikan gajah jika untuk berendam pun tidak bisa,’ pikir Ki Kerti Pejok. Kemudian ia membawa Ki Dwipangga ke arah hilir untuk mencari genangan sungai yang dalam.
“Ah, di sini kelihatannya lebih dalam. Aku akan memandikan Ki Dwipangga di sini saja. Dasar, Kanjeng Sultan orang yang aneh. Sungai sekecil ini kok digunakan untuk memandikan gajah,” gerutu Ki Kerti Pejok sambil terus menggosok punggung Ki Dwipangga. Belum habis Ki Kerti Pejok menggerutu, tiba-tiba banjir bandang datang dari arah hulu.
“Hap … Hap … Tulung … Tuluuung …,” teriak Ki Kerti Pejok sambil melambai-lambaikan tangannya. Ia hanyut dan tenggelam bersama Ki Dwipangga hingga ke Laut Selatan. Keduanya pun mati karena tidak ada seorang pun yang dapat menolongnya.
Untuk mengingat peristiwa tersebut, Sultan Agung menamakan sungai itu Kali Gajah Wong, karena kali itu telah menghanyutkan gajah dan wong. Sungai itu terletak di sebelah timur kota Yogyakarta. Konon, tempat Ki Kerti memandikan gajah itu saat ini bersebelahan dengan kebun binatang Gembiraloka.
Kanjeng : tuan.
Abdi dalem : pegawai istana, pembantu raja.
Srati : orang yang pekerjaannya mengurusi gajah.
Kang : kak, kakak, panggilan untuk kakak laki-laki.
Buntut : ekor.
Tulung : tolong.
Kali : sungai.
Wong : orang.
Batu Bini dan Batu Laki
Alkisah pada zaman dahulu kala, daerah yang terletak di sebelah Barat lereng Pegunungan Meratus pernah digengangi air yang dalam. Hanya ada satu daratan yang tidak digenangi air. Daratan itu dihuni oleh sekelompok masyarakat. Di salah satu rumah penduduk, tinggallah seorang janda tua bernama Diang Ingsun dengan anak laki-lakinya bernama si Angui. Keluarga kecil ini hidup dari hasil hutan dan dan sungai. Setiap hari Diang Ingsun mencari ikan di sungai dibantu oleh anak tunggalnya, si Angui. Mereka juga mengumpulkan umbi-umbian untuk dimakan. Jika ada sisa, mereka menjualnya kepada penduduk yang membutuhkan untuk ditukar dengan beras.
Si Angui masih tergolong anak-anak. Ia selalu duduk di dalam jukung menyertai ke mana saja ibunya pergi. Si Angui dan ibunya menjalani hidupnya penuh keprihatinan. Waktu terus berjalan, tak terasa si Angui tumbuh menjadi dewasa. Ibunya pun semakin tua. Mereka masih tekun bekerja. Kini, si Angui tidak hanya membantu ibunya menangkap ikan. Ia juga setiap hari ke hutan mengumpulkan rotan untuk dijual ke pedagang yang datang ke kampungnya. Sebelum rotan itu dijual, terlebih dahulu ia bersihkan lalu diikatnya dengan rapi. Apa pun yang ia kerjakan, ia selalu teringat dengan pesan ibunya sejak ia masih kecil: jika mengerjakan sesuatu hendaklah selalu bersih dan rapi.
Suatu hari, merapatlah sebuah jung yang besar di pelabuhan kampung Angui. Jung itu membawa berbagai barang dagangan untuk ditukar dengan bilah-bilah rotan, damar, dan lilin yang dihasilkan oleh penduduk di daerah itu. Si Angui turut pula menyerahkan sejumlah rotan miliknya untuk ditukarkan dengan garam, beras dan gula merah. Tanpa disadari, ternyata salah seorang awak jung yang berpenampilan rapi memerhatikannya dari kejauhan. Dia adalah pemilik jung itu. Tak lama, dia pun memerintahkan anak buahnya agar si Angui datang menghadap kepadanya. Anak buah itu pun menghampiri Angui. “Permisi anak muda! Saya diperintahkan oleh juragan saya memanggil kamu untuk menghadap kepadanya,” sapa anak buah itu sambil menunjuk ke arah juragannya. Angui pun menoleh ke arah pemilik jung. Ketika mata Angui tertuju kepadanya, pemilik jung pun tersenyum dan mengangguk-angguk, sebagai tanda bahwa ia benar-benar memanggil si Angui. Setelah merasa yakin, Angui pun segera menghadap kepada pemilik jung itu. “Hai anak muda! Siapa namamu?” tanya si pemilik perahu. “Penduduk kampung di sini memanggilku Angui, Tuan!” jawab Angui malu-malu. “Begini Angui. Aku sangat tertarik dengan bilah-bilah rotanmu. Batangnya cukup tua dan kering. Ikatannya pun bersih dan rapi,” ujar si pemilik jung memuji rotan si Angui. Angui hanya tersenyum dan bersikap hormat, lalu berkata, “Walaupun ibu saya tidak berpengetahuan luas, ia selalu mengingatkan agar saya berbuat dan bekerja dengan bersih dan rapi.”
Mendengar keterangan Angui, si pemilik jung merasa bahwa Angui adalah anak yang cekatan dan terampil bekerja. Tanpa pikir panjang, ia pun berniat mengajaknya untuk berlayar. “Hai, Angui! Jika kamu tidak keberatan, maukah kamu ikut berlayar bersamaku?” tanya si pemilik perahu. Si Angui sangat senang mendengar ajakan itu. “Wah...saya senang sekali, Tuan! Tapi, sebelumnya saya harus meminta persetujuan ibu saya terlebih dahulu,” jawab Angui menanggapi ajakan itu. “Baiklah, Angui. Besok pagi saya tunggu kamu di jung ini, kita pergi berlayar bersama-sama,” ucap si pemilik kapal. Setelah itu, si Angui segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan berita tersebut kepada ibunya.
Sesampainya di rumah, Angui pun langsung menceritakannya kepada ibunya. “Ibu, tadi saya bertemu dengan si pemilik jung dagang di pelabuhan. Ia mengajakku pergi berlayar bersamanya. Bagaimana menurut ibu?” tanya Angui dengan hati-hati. “Ibu ingin melihat kamu berhasil, Nak! Ibu tidak keberatan jika kamu turut berlayar,” ibunya memberi izin dengan tulus. “Tapi, jika kamu sudah berhasil, cepatlah pulang! Ibu hanya tinggal sendirian. Ibu tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu, Anakku. Cepatlah kembali!” pinta ibunya. Mendengar jawaban ibunya, Angui gembira bukan kepalang. “Terima kasih, Bu. Saya akan selalu mengingat pesan ibu. Doakan saya berhasil ya, Bu!” seru Angui sambil memeluk ibunya. “Besok pagi-pagi sekali, persiapkan segala keperluanmu, Nak! seru ibunya. Si Angui mengangguk-angguk dengan senang. Namun, tiba-tiba ia ingat sesuatu, ayam jago yang telah dipeliharanya sejak kecil. “Ibu, tolong jaga dan rawat baik-baik ayam jagoku, ya! Biarlah ayam itu tidak saya bawa agar Ibu selalu ingat kepada saya,” pinta Angui kepada ibunya. “Tentu, Anakku. Saya akan merawatnya dengan baik sampai kamu kembali,” jawab Ibu Angui.
Keesokan harinya, Angui pun berangkat ke pelabuhan diantar ibunya. “Ibu, Angui berangkat dulu. Jaga kesehatan ya, bu! Angui segera kembali jika sudah berhasil,” ujar Angui memberi harapan seraya mencium tangan ibunya. “Ya, naiklah segera ke jung. Sebentar lagi jungnya berangkat. Hati-hati ya, Nak! Jangan lupa pesan Ibu. Cepatlah kembali!” seru Ibu Angui sambil melambaikan tangan. Tak berapa lama, berangkatlah jung dagang itu bersama Angui. Jung itu pun semakin jauh mengarungi air sungai yang dalam itu. Dari kejauhan tampak seorang perempuan tua di pelabuhan yang sedang melambaikan tangan tak henti-hentinya. Di atas jung, Angui pun membalas lambaian itu. Angui mengetahui bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya yang sangat dicintainya. Sejak di atas jung hingga menjauh dari pelabuhan, pandangan Angui tidak pernah lepas tertuju kepada ibunya. Ia merasa berat berpisah dengan ibunya. “Maafkan Angui, Ibu. Angui meninggalkan Ibu seorang diri. Tapi, ini demi kebaikan kita,” ucap Angui meneteskan air mata.
Sudah bertahun-tahun si Angui ikut bekerja pada si pemilik perahu. Angui senantiasa mengingat pesan ibunya. Setiap pekerjaan yang diberikan kepada bosnya, diselesaikannya dengan rapi dan bersih. Karena kecekatan dan ketelatenannya dalam bekerja, si Angui pun dinikahkan dengan anak si pemilik perahu yang sudah tua itu. Tak lama sesudah menikah, si pemilik perahu pun meninggal dunia. Seluruh harta kekayaannya diwarisi oleh si Angui bersama istrinya. Maka, terkenallah si Angui dan istrinya sebagai saudagar yang kaya-raya. Karena merasa sudah berhasil, Angui pun teringat dengan pesan ibunya. Ia pun berniat untuk menjenguk ibunya yang tinggal jauh di kampung. Niat baik tersebut disambut baik oleh istrinya dengan penuh harapan. “Kaka, jadikan pelayaran ini sebagai kunjungan pertama ke rumah mertuaku,” ujar istrinya. “Baiklah, Adingku. Perintahkan anak buah jung menyiapkan jung yang paling besar dan barang-barang yang akan kita bawa,” jawab si Angui setuju. Setelah itu, diperintahkannya seluruh anak buahnya untuk menyiapkan seluruh keperluan selama pelayaran. Tak lupa pula mereka membawa berbagai macam barang mewah untuk dihadiahkan kepada ibu Angui. Setelah semuanya siap, jung Angui pun berangkat.
Beberapa hari kemudian, berlabuhlah jung yang megah itu di pelabuhan kampung Angui. Orang-orang terkagum-kagum melihat kemegahan kapal itu. Banyak orang yang bertanya-tanya, siapa gerangan pemilik kapal itu dan apa keperluan mereka datang ke tempat itu. Rasa penasaran mereka hilang, ketika Angui dan istrinya keluar dan berdiri di anjungan. Beberapa orang yang hadir di pelabuhan itu mengenal ciri-ciri sosok si Angui. “Hei, lihat laki-laki yang berdiri di anjungan bersama seorang wanita. Sepertinya dia itu si Angui. Coba perhatikan! Tahi lalat di atas pelupuk mata kanannya, itu kan ciri khas si Angui,” seru seorang yang sudah agak berumur. Semua yang hadir mengalihkan perhatiannya kepada laki-laki itu. “Ya, benar. Dia adalah si Angui, anak Diang Ingsun. Aku akan segera memberi tahu ibunya,” ujar penduduk lainnya. Belum beranjak dari tempatnya, tiba-tiba sejumlah anak-anak menghambur berlarian menuju rumah nenek tua itu, ibu si Angui, untuk menyampaikan berita itu. “Nek...Angui pulang...! Angui pulang...!Anguiiii Pulaaang...! teriak anak-anak tersebut di luar gubuk ibu Angui.
Mendengar teriakan itu, Diang Ingsun segera keluar dari gubuknya. Ia seakan tidak percaya dengan berita yang ada. Ia kemudian mendekati anak-anak itu. “Wahai, cucu-cucuku! Jangan membuat nenek kaget! Apa benar yang kalian katakan itu?” tanyanya terpatah-patah. “Benar, Neeek...,” sahut anak-anak serempak. “Jung Angui ada di pelabuhan!” tambah mereka. “Baiklah! Nenek segera ke sana,” ujar Diang Ingsun. Setelah anak-anak tersebut kembali ke pelabuhan, nenek itu pun masuk ke gubuknya. “Penampilanku sudah setua ini barangkali si Angui sudah tidak bisa mengenalku lagi. Aku juga sudah tidak kuat berjalan ke pelabuhan. Biarlah aku menaiki jukung rumpung ini. Aku akan berkayuh sekuatku. Mungkin ia memang tidak mengenaliku, tapi jukung ini akan mengingatkannya kepada masa kanak-kanaknya. Dulu, ia sering tiduran di jukung ini ketika aku sedang menangkap ikan,” gumam Diang Ingsun. Ia juga tidak lupa membawa ayam jago milik si Angui. “Ayam jago yang berumur panjang ini barangkali akan mengingatkan si Angui kepada pesannya beberapa tahun lalu. Sebelum berangkat berlayar, ia berpesan kepadaku untuk selalu merawat ayam ini hingga ia kembali,” Diang Ingsan kembali bergumam.
Berangkatlah nenek itu ke pelabuhan dengan jukung rumpungnya. Seekor ayam jantan bertengger di bagian depan jukungnya. Sesampainya di pelabuhan, terdengarlah suara teriakan dari para pengunjung yang ada di pelabuhan, “Diang Ingsun datang...Diang Ingsun datang...! Mendengar suara ribut-ribut di pelabuhan, si Angui dan istrinya melongok ke bawah. Mereka melihat sebuah jukung rumpung berhadapan dengan anjungan jungnya. “Siapa orang tua bersampan itu, Kaka?” tanya istri Angui. “Entahlah, Adingku,” jawab si Angui singkat.
“Angui..., Anakku! Ini ibumu, Nak...!” teriak Diang Ingsun dari dalam jukungnya. “Kaka, benarkah yang dikatakan perempuan tua itu?” tanya istrinya. “Bukan. Perempuan tua itu bukan ibuku,” bantah Angui kepada istrinya. “Ibuku tidak semiskin dan serenta itu!” tambah Angui. “Angui, ini ibu, Nak...!” nenek renta itu berseru. Dari atas jungnya yang megah, si Angui berucap, “Hai, perempuan tua, jangan mengaku-aku! Ibuku tidak seburuk kamu penampilannya!”
“Angui, Anakku! Engkau boleh tidak mengenali ibumu ini. Ayam jago kesayanganmu sengaja Ibu bawa untuk mengingatkanmu, Nak! seru ibunya mengiba. “Tidak mungkin ayam jagoku berusia setua itu. Jangan mengada-ada, wahai perempuan tua pendusta!” bentak si Angui. Si Angui mulai berkeringat dingin. Ia sangat malu kalau rahasianya terbongkar di hadapan istrinya. “Jukung ini adalah alat yang dulu kita gunakan untuk mencari ikan. Apakah kamu lupa, Anakku?” tanya ibunya lebih nyaring. Pertanyaan itu membuat si Angui semakin geram. “Persetan dengan jukung rumpung itu!” balas si Angui. Kemudian, ia memerintahkan seluruh anak buahnya untuk meninggalkan pelabuhan. “Angkat jangkar dan lepaskan semua tali. Kita pergi dari sini. Aku muak melihat perempuan miskin itu!” seru si Angui. Istrinya yang baik hati merasa iba terhadap nenek itu. “Kakaaa...kalau memang perempuan tua itu ibu kandungmu, tidak mengapa. Ading akan menerimanya dengan senang hati. Kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, karena Kaka masih dipertemukan dengan ibu yang pernah mengandung, melahirkan, dan membesarkanmu. Turunlah Kaka, rangkullah dia...! pinta istrinya mengiba kepada si Angui. Mendengar permintaan istrinya, si Angui tetap saja berkeras hati tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri. “Sudah kukatakan, aku tidak memiliki orang tua seburuk itu. Tua renta itu hanya mengada-ada! bantah si Angui.
Tak lama kemudian, jung pun bergerak perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan. Si Angui menarik paksa tangan istrinya agar masuk ke dalam kamar. Hatinya sakit, karena rasa malu yang sangat. Akal sehatnya benar-benar sudah tertutup hingga ia tega mengingkari kenyataan bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya sendiri. Demikian pula perempuan tua yang malang itu. Hatinya hancur berkeping-keping dibentak dan dicaci-maki, bahkan diingkari sebagai ibu oleh anak kandungnya sendiri. Karena itu, ia menjadi putus asa. Sambil menangis, ia berdoa, “Wahai, Tuhan Yang Mahakuasa. Jika si pemilik perahu itu memang si Angui, anak kandung yang pernah kukandung sembilan bulan sepuluh hari di dalam rahimku, celakakanlah dia karena telah berani menghina ibu kandungnya ini! Dengan kekuasaan-Mu, biar jasad dan semua kekayaannya menjadi batu! Dia anak durhaka...!” kutuk Diang Ingsun.
Baru saja doa itu diucapkan, tiba-tiba hujan turun dengan deras, disertai angin kencang. Suara guntur bergemuruh, menggelegar bersahut-sahutan. Air laut pun bergejolak dengan dahsyatnya. Jung yang ditumpangi si Angui dan seluruh isinya, terombang-ambing oleh gelombang air laut itu. Hempasan gelombang yang dahsyat itu membelah jung itu menjadi dua bagian. Satu bagian berisi istri si Angui beserta dayangnya, satu bagian lagi dihuni oleh si Angui beserta anak buah jung dan segala harta kekayaannya. Dari dalam jung terdengar suara teriakan si Angui memanggil-mangggil ibunya dan meminta maaf. “Ibu..., Ibu..., maafkan aku, Bu! Aku memang anakmu! Aku tidak akan mengulangi lagi!” Istri Angui pun turut berteriak meminta maaf. Namun, teriakan mereka tidak dihiraukan oleh Diang Ingsun. Ia terus mengayuh jukungnya menjauhi pelabuhan.
Si Angui sangat menyesali perbuatannya. Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Bencana pun tak terelakkan. Kapal yang besar dan megah itu tenggelam ke dasar laut. Ketika air laut yang sempat menggenangi daratan rendah pelabuhan di kampung si Angui berubah surut dan menjadi daratan, menyembullah potongan-potongan kapal yang sudah berwujud batu. Potongan kapal yang berisi istri Angui berubah menjadi gunung batu yang kemudian disebut Gunung Batu Bini, sedangkan potongan kapal yang berisi Angui setelah menjadi batu disebut Gunung Batu Laki. Tiang layarnya mencuat dan kemudian tumbuh menjadi pohon yang tinggi di puncak Gunung Batu Laki. Sementara Diang Ingsun menjelma menjadi menjadi burung elang mangkung berwarna hitam. Penduduk setempat sering melihat burung itu hinggap di Gunung Batu Laki. Bila hari panas, burung elang itu selalu berkulik-kulik, “Bulik...! bulik...! buliiiik...!”
Jung : kapal
Jukung : sampan
Kaka : kakak, panggilan istri terhadap suaminya
Ading : adik, panggilan suami terhadap istrinya
Bulik : balik, kembali, pulang
* * *
Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan yang memuat pesan-pesan luhur dan ajaran moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pesan-pesan moral tersebut tercermin pada sifat si Angui. Sifat baik yang dimiliki si Angui adalah selalu bersih dan rapi dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Sifat si Angui ini perlu untuk diteladani. Orang yang kerjanya senantiasa bersih dan rapi, tentu disukai oleh banyak orang.
Selain sifat baik, si Angui juga memiliki sifat buruk yang tidak boleh diteladani dalam cerita di atas yaitu suka lupa diri atau sombong. Sifat ini tampak ketika si Angui berhasil menjadi orang kaya, ia menjadi lupa diri. Karena ia sudah menjadi kaya-raya dan berpangkat, maka ia lupa segala-galanya. Bahkan ia lupa terhadap ibu kandungnya sendiri yang tua dan miskin itu. Sifat buruk lainnya yang dimiliki si Angui adalah suka membentak, mencaci-maki, bahkan mengingkari ibu kandungnya sendiri, sehingga ia “dicap” sebagai anak durhaka. Sifat buruk si Angui tersebut sangat dibenci, ditabukan dan dilarang oleh orang Melayu. Meskipun demikian, mereka menyadari bahwa tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Setiap orang tentulah memiliki kelebihan dan kekurangan. Orang Melayu hanya berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara untuk menghilangkan, atau menutupi dan memperbaiki kekurangan tersebut. Salah satu caranya adalah melalui sindiran-sindiran. Ada beberapa sindiran yang berkaitan dengan sifat-sifat buruk yang dimiliki si Angui di atas. Di antaranya disebutkan oleh Tennas Effendy sebagai seperti berikut:
“bila kaya, besar kepala,
bila perpangkat, berobah sifat”
Dalam ungkapan yang senada juga disebutkan:
“bila terpandang,
hidung pun kembang”
“bila terkenal,
lupakan asal”
“bila dipuji lupakan diri,
bila disanjung tak ingat untung”
Sementara sifat durhaka si Angui terhadap ibunya termasuk ke dalam pantangan orang Melayu. Menurut mereka, sifat buruk ini harus dibuang dan dijauhi, karena sanksi pelanggarannya sangat besar. Oleh karena itu, orang tua-tua Melayu selalu mengingatkan anggota masyarakatnya agar meninggalkan dan menjauhi sifat-sifat yang dipantangkan, termasuk durhaka terhadap orang tua. Berkaitan dengan hal ini, banyak disebutkan di dalam ungkapan Melayu. Tennas Effendy dalam bukunya “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau, banyak menyebutkan ungkapan sifat durhaka terhadap orang tua, di antaranya:
“apa tanda orang durhaka,
terhadap yang baik tak suka”
“kalau suka berbuat durhaka,
kemana pergi akan celaka”
“kalau durhaka ke ibu bapak,
dunia akhirat badan tercampak”
Si Angui masih tergolong anak-anak. Ia selalu duduk di dalam jukung menyertai ke mana saja ibunya pergi. Si Angui dan ibunya menjalani hidupnya penuh keprihatinan. Waktu terus berjalan, tak terasa si Angui tumbuh menjadi dewasa. Ibunya pun semakin tua. Mereka masih tekun bekerja. Kini, si Angui tidak hanya membantu ibunya menangkap ikan. Ia juga setiap hari ke hutan mengumpulkan rotan untuk dijual ke pedagang yang datang ke kampungnya. Sebelum rotan itu dijual, terlebih dahulu ia bersihkan lalu diikatnya dengan rapi. Apa pun yang ia kerjakan, ia selalu teringat dengan pesan ibunya sejak ia masih kecil: jika mengerjakan sesuatu hendaklah selalu bersih dan rapi.
Suatu hari, merapatlah sebuah jung yang besar di pelabuhan kampung Angui. Jung itu membawa berbagai barang dagangan untuk ditukar dengan bilah-bilah rotan, damar, dan lilin yang dihasilkan oleh penduduk di daerah itu. Si Angui turut pula menyerahkan sejumlah rotan miliknya untuk ditukarkan dengan garam, beras dan gula merah. Tanpa disadari, ternyata salah seorang awak jung yang berpenampilan rapi memerhatikannya dari kejauhan. Dia adalah pemilik jung itu. Tak lama, dia pun memerintahkan anak buahnya agar si Angui datang menghadap kepadanya. Anak buah itu pun menghampiri Angui. “Permisi anak muda! Saya diperintahkan oleh juragan saya memanggil kamu untuk menghadap kepadanya,” sapa anak buah itu sambil menunjuk ke arah juragannya. Angui pun menoleh ke arah pemilik jung. Ketika mata Angui tertuju kepadanya, pemilik jung pun tersenyum dan mengangguk-angguk, sebagai tanda bahwa ia benar-benar memanggil si Angui. Setelah merasa yakin, Angui pun segera menghadap kepada pemilik jung itu. “Hai anak muda! Siapa namamu?” tanya si pemilik perahu. “Penduduk kampung di sini memanggilku Angui, Tuan!” jawab Angui malu-malu. “Begini Angui. Aku sangat tertarik dengan bilah-bilah rotanmu. Batangnya cukup tua dan kering. Ikatannya pun bersih dan rapi,” ujar si pemilik jung memuji rotan si Angui. Angui hanya tersenyum dan bersikap hormat, lalu berkata, “Walaupun ibu saya tidak berpengetahuan luas, ia selalu mengingatkan agar saya berbuat dan bekerja dengan bersih dan rapi.”
Mendengar keterangan Angui, si pemilik jung merasa bahwa Angui adalah anak yang cekatan dan terampil bekerja. Tanpa pikir panjang, ia pun berniat mengajaknya untuk berlayar. “Hai, Angui! Jika kamu tidak keberatan, maukah kamu ikut berlayar bersamaku?” tanya si pemilik perahu. Si Angui sangat senang mendengar ajakan itu. “Wah...saya senang sekali, Tuan! Tapi, sebelumnya saya harus meminta persetujuan ibu saya terlebih dahulu,” jawab Angui menanggapi ajakan itu. “Baiklah, Angui. Besok pagi saya tunggu kamu di jung ini, kita pergi berlayar bersama-sama,” ucap si pemilik kapal. Setelah itu, si Angui segera pulang ke rumahnya untuk menyampaikan berita tersebut kepada ibunya.
Sesampainya di rumah, Angui pun langsung menceritakannya kepada ibunya. “Ibu, tadi saya bertemu dengan si pemilik jung dagang di pelabuhan. Ia mengajakku pergi berlayar bersamanya. Bagaimana menurut ibu?” tanya Angui dengan hati-hati. “Ibu ingin melihat kamu berhasil, Nak! Ibu tidak keberatan jika kamu turut berlayar,” ibunya memberi izin dengan tulus. “Tapi, jika kamu sudah berhasil, cepatlah pulang! Ibu hanya tinggal sendirian. Ibu tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu, Anakku. Cepatlah kembali!” pinta ibunya. Mendengar jawaban ibunya, Angui gembira bukan kepalang. “Terima kasih, Bu. Saya akan selalu mengingat pesan ibu. Doakan saya berhasil ya, Bu!” seru Angui sambil memeluk ibunya. “Besok pagi-pagi sekali, persiapkan segala keperluanmu, Nak! seru ibunya. Si Angui mengangguk-angguk dengan senang. Namun, tiba-tiba ia ingat sesuatu, ayam jago yang telah dipeliharanya sejak kecil. “Ibu, tolong jaga dan rawat baik-baik ayam jagoku, ya! Biarlah ayam itu tidak saya bawa agar Ibu selalu ingat kepada saya,” pinta Angui kepada ibunya. “Tentu, Anakku. Saya akan merawatnya dengan baik sampai kamu kembali,” jawab Ibu Angui.
Keesokan harinya, Angui pun berangkat ke pelabuhan diantar ibunya. “Ibu, Angui berangkat dulu. Jaga kesehatan ya, bu! Angui segera kembali jika sudah berhasil,” ujar Angui memberi harapan seraya mencium tangan ibunya. “Ya, naiklah segera ke jung. Sebentar lagi jungnya berangkat. Hati-hati ya, Nak! Jangan lupa pesan Ibu. Cepatlah kembali!” seru Ibu Angui sambil melambaikan tangan. Tak berapa lama, berangkatlah jung dagang itu bersama Angui. Jung itu pun semakin jauh mengarungi air sungai yang dalam itu. Dari kejauhan tampak seorang perempuan tua di pelabuhan yang sedang melambaikan tangan tak henti-hentinya. Di atas jung, Angui pun membalas lambaian itu. Angui mengetahui bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya yang sangat dicintainya. Sejak di atas jung hingga menjauh dari pelabuhan, pandangan Angui tidak pernah lepas tertuju kepada ibunya. Ia merasa berat berpisah dengan ibunya. “Maafkan Angui, Ibu. Angui meninggalkan Ibu seorang diri. Tapi, ini demi kebaikan kita,” ucap Angui meneteskan air mata.
Sudah bertahun-tahun si Angui ikut bekerja pada si pemilik perahu. Angui senantiasa mengingat pesan ibunya. Setiap pekerjaan yang diberikan kepada bosnya, diselesaikannya dengan rapi dan bersih. Karena kecekatan dan ketelatenannya dalam bekerja, si Angui pun dinikahkan dengan anak si pemilik perahu yang sudah tua itu. Tak lama sesudah menikah, si pemilik perahu pun meninggal dunia. Seluruh harta kekayaannya diwarisi oleh si Angui bersama istrinya. Maka, terkenallah si Angui dan istrinya sebagai saudagar yang kaya-raya. Karena merasa sudah berhasil, Angui pun teringat dengan pesan ibunya. Ia pun berniat untuk menjenguk ibunya yang tinggal jauh di kampung. Niat baik tersebut disambut baik oleh istrinya dengan penuh harapan. “Kaka, jadikan pelayaran ini sebagai kunjungan pertama ke rumah mertuaku,” ujar istrinya. “Baiklah, Adingku. Perintahkan anak buah jung menyiapkan jung yang paling besar dan barang-barang yang akan kita bawa,” jawab si Angui setuju. Setelah itu, diperintahkannya seluruh anak buahnya untuk menyiapkan seluruh keperluan selama pelayaran. Tak lupa pula mereka membawa berbagai macam barang mewah untuk dihadiahkan kepada ibu Angui. Setelah semuanya siap, jung Angui pun berangkat.
Beberapa hari kemudian, berlabuhlah jung yang megah itu di pelabuhan kampung Angui. Orang-orang terkagum-kagum melihat kemegahan kapal itu. Banyak orang yang bertanya-tanya, siapa gerangan pemilik kapal itu dan apa keperluan mereka datang ke tempat itu. Rasa penasaran mereka hilang, ketika Angui dan istrinya keluar dan berdiri di anjungan. Beberapa orang yang hadir di pelabuhan itu mengenal ciri-ciri sosok si Angui. “Hei, lihat laki-laki yang berdiri di anjungan bersama seorang wanita. Sepertinya dia itu si Angui. Coba perhatikan! Tahi lalat di atas pelupuk mata kanannya, itu kan ciri khas si Angui,” seru seorang yang sudah agak berumur. Semua yang hadir mengalihkan perhatiannya kepada laki-laki itu. “Ya, benar. Dia adalah si Angui, anak Diang Ingsun. Aku akan segera memberi tahu ibunya,” ujar penduduk lainnya. Belum beranjak dari tempatnya, tiba-tiba sejumlah anak-anak menghambur berlarian menuju rumah nenek tua itu, ibu si Angui, untuk menyampaikan berita itu. “Nek...Angui pulang...! Angui pulang...!Anguiiii Pulaaang...! teriak anak-anak tersebut di luar gubuk ibu Angui.
Mendengar teriakan itu, Diang Ingsun segera keluar dari gubuknya. Ia seakan tidak percaya dengan berita yang ada. Ia kemudian mendekati anak-anak itu. “Wahai, cucu-cucuku! Jangan membuat nenek kaget! Apa benar yang kalian katakan itu?” tanyanya terpatah-patah. “Benar, Neeek...,” sahut anak-anak serempak. “Jung Angui ada di pelabuhan!” tambah mereka. “Baiklah! Nenek segera ke sana,” ujar Diang Ingsun. Setelah anak-anak tersebut kembali ke pelabuhan, nenek itu pun masuk ke gubuknya. “Penampilanku sudah setua ini barangkali si Angui sudah tidak bisa mengenalku lagi. Aku juga sudah tidak kuat berjalan ke pelabuhan. Biarlah aku menaiki jukung rumpung ini. Aku akan berkayuh sekuatku. Mungkin ia memang tidak mengenaliku, tapi jukung ini akan mengingatkannya kepada masa kanak-kanaknya. Dulu, ia sering tiduran di jukung ini ketika aku sedang menangkap ikan,” gumam Diang Ingsun. Ia juga tidak lupa membawa ayam jago milik si Angui. “Ayam jago yang berumur panjang ini barangkali akan mengingatkan si Angui kepada pesannya beberapa tahun lalu. Sebelum berangkat berlayar, ia berpesan kepadaku untuk selalu merawat ayam ini hingga ia kembali,” Diang Ingsan kembali bergumam.
Berangkatlah nenek itu ke pelabuhan dengan jukung rumpungnya. Seekor ayam jantan bertengger di bagian depan jukungnya. Sesampainya di pelabuhan, terdengarlah suara teriakan dari para pengunjung yang ada di pelabuhan, “Diang Ingsun datang...Diang Ingsun datang...! Mendengar suara ribut-ribut di pelabuhan, si Angui dan istrinya melongok ke bawah. Mereka melihat sebuah jukung rumpung berhadapan dengan anjungan jungnya. “Siapa orang tua bersampan itu, Kaka?” tanya istri Angui. “Entahlah, Adingku,” jawab si Angui singkat.
“Angui..., Anakku! Ini ibumu, Nak...!” teriak Diang Ingsun dari dalam jukungnya. “Kaka, benarkah yang dikatakan perempuan tua itu?” tanya istrinya. “Bukan. Perempuan tua itu bukan ibuku,” bantah Angui kepada istrinya. “Ibuku tidak semiskin dan serenta itu!” tambah Angui. “Angui, ini ibu, Nak...!” nenek renta itu berseru. Dari atas jungnya yang megah, si Angui berucap, “Hai, perempuan tua, jangan mengaku-aku! Ibuku tidak seburuk kamu penampilannya!”
“Angui, Anakku! Engkau boleh tidak mengenali ibumu ini. Ayam jago kesayanganmu sengaja Ibu bawa untuk mengingatkanmu, Nak! seru ibunya mengiba. “Tidak mungkin ayam jagoku berusia setua itu. Jangan mengada-ada, wahai perempuan tua pendusta!” bentak si Angui. Si Angui mulai berkeringat dingin. Ia sangat malu kalau rahasianya terbongkar di hadapan istrinya. “Jukung ini adalah alat yang dulu kita gunakan untuk mencari ikan. Apakah kamu lupa, Anakku?” tanya ibunya lebih nyaring. Pertanyaan itu membuat si Angui semakin geram. “Persetan dengan jukung rumpung itu!” balas si Angui. Kemudian, ia memerintahkan seluruh anak buahnya untuk meninggalkan pelabuhan. “Angkat jangkar dan lepaskan semua tali. Kita pergi dari sini. Aku muak melihat perempuan miskin itu!” seru si Angui. Istrinya yang baik hati merasa iba terhadap nenek itu. “Kakaaa...kalau memang perempuan tua itu ibu kandungmu, tidak mengapa. Ading akan menerimanya dengan senang hati. Kita harus bersyukur kepada Tuhan Yang Mahakuasa, karena Kaka masih dipertemukan dengan ibu yang pernah mengandung, melahirkan, dan membesarkanmu. Turunlah Kaka, rangkullah dia...! pinta istrinya mengiba kepada si Angui. Mendengar permintaan istrinya, si Angui tetap saja berkeras hati tidak mau mengakui ibu kandungnya sendiri. “Sudah kukatakan, aku tidak memiliki orang tua seburuk itu. Tua renta itu hanya mengada-ada! bantah si Angui.
Tak lama kemudian, jung pun bergerak perlahan-lahan meninggalkan pelabuhan. Si Angui menarik paksa tangan istrinya agar masuk ke dalam kamar. Hatinya sakit, karena rasa malu yang sangat. Akal sehatnya benar-benar sudah tertutup hingga ia tega mengingkari kenyataan bahwa perempuan tua itu adalah ibu kandungnya sendiri. Demikian pula perempuan tua yang malang itu. Hatinya hancur berkeping-keping dibentak dan dicaci-maki, bahkan diingkari sebagai ibu oleh anak kandungnya sendiri. Karena itu, ia menjadi putus asa. Sambil menangis, ia berdoa, “Wahai, Tuhan Yang Mahakuasa. Jika si pemilik perahu itu memang si Angui, anak kandung yang pernah kukandung sembilan bulan sepuluh hari di dalam rahimku, celakakanlah dia karena telah berani menghina ibu kandungnya ini! Dengan kekuasaan-Mu, biar jasad dan semua kekayaannya menjadi batu! Dia anak durhaka...!” kutuk Diang Ingsun.
Baru saja doa itu diucapkan, tiba-tiba hujan turun dengan deras, disertai angin kencang. Suara guntur bergemuruh, menggelegar bersahut-sahutan. Air laut pun bergejolak dengan dahsyatnya. Jung yang ditumpangi si Angui dan seluruh isinya, terombang-ambing oleh gelombang air laut itu. Hempasan gelombang yang dahsyat itu membelah jung itu menjadi dua bagian. Satu bagian berisi istri si Angui beserta dayangnya, satu bagian lagi dihuni oleh si Angui beserta anak buah jung dan segala harta kekayaannya. Dari dalam jung terdengar suara teriakan si Angui memanggil-mangggil ibunya dan meminta maaf. “Ibu..., Ibu..., maafkan aku, Bu! Aku memang anakmu! Aku tidak akan mengulangi lagi!” Istri Angui pun turut berteriak meminta maaf. Namun, teriakan mereka tidak dihiraukan oleh Diang Ingsun. Ia terus mengayuh jukungnya menjauhi pelabuhan.
Si Angui sangat menyesali perbuatannya. Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Bencana pun tak terelakkan. Kapal yang besar dan megah itu tenggelam ke dasar laut. Ketika air laut yang sempat menggenangi daratan rendah pelabuhan di kampung si Angui berubah surut dan menjadi daratan, menyembullah potongan-potongan kapal yang sudah berwujud batu. Potongan kapal yang berisi istri Angui berubah menjadi gunung batu yang kemudian disebut Gunung Batu Bini, sedangkan potongan kapal yang berisi Angui setelah menjadi batu disebut Gunung Batu Laki. Tiang layarnya mencuat dan kemudian tumbuh menjadi pohon yang tinggi di puncak Gunung Batu Laki. Sementara Diang Ingsun menjelma menjadi menjadi burung elang mangkung berwarna hitam. Penduduk setempat sering melihat burung itu hinggap di Gunung Batu Laki. Bila hari panas, burung elang itu selalu berkulik-kulik, “Bulik...! bulik...! buliiiik...!”
Jung : kapal
Jukung : sampan
Kaka : kakak, panggilan istri terhadap suaminya
Ading : adik, panggilan suami terhadap istrinya
Bulik : balik, kembali, pulang
* * *
Cerita rakyat di atas termasuk ke dalam cerita-cerita teladan yang memuat pesan-pesan luhur dan ajaran moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pesan-pesan moral tersebut tercermin pada sifat si Angui. Sifat baik yang dimiliki si Angui adalah selalu bersih dan rapi dalam mengerjakan suatu pekerjaan. Sifat si Angui ini perlu untuk diteladani. Orang yang kerjanya senantiasa bersih dan rapi, tentu disukai oleh banyak orang.
Selain sifat baik, si Angui juga memiliki sifat buruk yang tidak boleh diteladani dalam cerita di atas yaitu suka lupa diri atau sombong. Sifat ini tampak ketika si Angui berhasil menjadi orang kaya, ia menjadi lupa diri. Karena ia sudah menjadi kaya-raya dan berpangkat, maka ia lupa segala-galanya. Bahkan ia lupa terhadap ibu kandungnya sendiri yang tua dan miskin itu. Sifat buruk lainnya yang dimiliki si Angui adalah suka membentak, mencaci-maki, bahkan mengingkari ibu kandungnya sendiri, sehingga ia “dicap” sebagai anak durhaka. Sifat buruk si Angui tersebut sangat dibenci, ditabukan dan dilarang oleh orang Melayu. Meskipun demikian, mereka menyadari bahwa tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Setiap orang tentulah memiliki kelebihan dan kekurangan. Orang Melayu hanya berusaha sekuat tenaga dengan berbagai cara untuk menghilangkan, atau menutupi dan memperbaiki kekurangan tersebut. Salah satu caranya adalah melalui sindiran-sindiran. Ada beberapa sindiran yang berkaitan dengan sifat-sifat buruk yang dimiliki si Angui di atas. Di antaranya disebutkan oleh Tennas Effendy sebagai seperti berikut:
“bila kaya, besar kepala,
bila perpangkat, berobah sifat”
Dalam ungkapan yang senada juga disebutkan:
“bila terpandang,
hidung pun kembang”
“bila terkenal,
lupakan asal”
“bila dipuji lupakan diri,
bila disanjung tak ingat untung”
Sementara sifat durhaka si Angui terhadap ibunya termasuk ke dalam pantangan orang Melayu. Menurut mereka, sifat buruk ini harus dibuang dan dijauhi, karena sanksi pelanggarannya sangat besar. Oleh karena itu, orang tua-tua Melayu selalu mengingatkan anggota masyarakatnya agar meninggalkan dan menjauhi sifat-sifat yang dipantangkan, termasuk durhaka terhadap orang tua. Berkaitan dengan hal ini, banyak disebutkan di dalam ungkapan Melayu. Tennas Effendy dalam bukunya “Ejekan” Terhadap Orang Melayu Riau dan Pantangan Orang Melayu Riau, banyak menyebutkan ungkapan sifat durhaka terhadap orang tua, di antaranya:
“apa tanda orang durhaka,
terhadap yang baik tak suka”
“kalau suka berbuat durhaka,
kemana pergi akan celaka”
“kalau durhaka ke ibu bapak,
dunia akhirat badan tercampak”
Batu Belah
Pada zaman dahulu, daerah pesisir Tobelo, Maluku Utara, memiliki kekayaan laut yang sangat melimpah. Berbagai jenis ikan hidup di daerah tersebut. Salah satu di antaranya adalah ikan papayana. Jenis ikan ini sangat digemari oleh nelayan setempat karena dagingnya lezat dan mempunyai banyak telur yang enak dimakan. Selain itu, telur ikan papayana dipercaya dapat menjaga keselamatan para nelayan ketika sedang mencari ikan di laut dalam keadaan cuaca buruk. Caranya sangat mudah yaitu menyimpan telur ikan papayana tersebut di rumah sebelum berangkat ke laut.
Di antara para nelayan di daerah itu, ada seorang nelayan yang bernama Malaihollo. Malaihollo mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Anaknya yang pertama seorang perempuan bernama O Bia Moloku sedangkan anak bungsunya seorang laki-laki yang masih balita bernama O Bia Mokara. Untuk menghidupi keluarganya, setiap hari Malaihollo mencari ikan di laut.
Pada suatu hari, Malaihollo pulang dari melaut lebih awal daripada hari-hari biasanya karena cuaca di laut sangat buruk. Angin bertiup kencang dan gelombang laut sangat ganas. Namun, hari itu ia berhasil memperoleh seekor ikan papayana yang cukup besar dan bertelur banyak. Dengan hati gembira dan langkah tergopoh-gopoh, ia membawa ikan itu masuk ke dalam rumah untuk diserahkan kepada istrinya.
“Ma… Ma…, Papa pulang!” seru Malaihollo.
Mendengar teriakan itu, sang istri tercinta segera menyambut kedatangannya.
“Ada apa, Papa! Kenapa Papa sudah kembali dari melaut? Bukankah hari masih pagi?” tanya istrinya heran.
“Lihat, Ma! Papa membawa ikan papayana yang sangat besar. Tolong ikan beserta telurnya dimasak sekarang untuk makan siang kita nanti! Papa ingin kembali lagi ke laut untuk mencari ikan,” pesan Malaihollo.
“Baik, Pa!” jawab istrinya seraya membawa ikan itu ke dapur untuk dimasak.
Meskipun mengetahui cuaca di laut sangat buruk, Istri Malaihollo tetap tidak memperdulikan keselamatan suaminya. Ia yakin bahwa dengan menyimpan telur ikan papayana suaminya akan baik-baik saja selama melaut.
Usai dimasak, ikan dan telur ikan papayana tersebut ia simpan di dalam lemari. Setelah itu, istri Malaihollo berniat untuk mengambil sayur-sayuran di kebun.
“Moloku, Mama mau ke kebun sebentar. Jangan kamu makan ikan yang Mama simpan di lemari! Jika kamu memakan telur ikan itu, maka Papa-mu akan terancam bahaya di laut,” pesan istri Malaihollo kepada anak sulungnya yang sedang bermain bersama adiknya di halaman rumah.
“Baik, Mama!” jawab O Bia Moloku.
Tak berapa lama setelah sang mama pergi, tiba-tiba O Bia Mokana menangis karena lapar.
“Kakak, adik lapar. Adik mau makan telur ikan,” kata O Bia Mokana.
“Jangan, Adikku! Kita tidak boleh makan telur ikan itu sebelum papa pulang dari laut,” bujuk O Bia Moloku.
O Bia Moloku terus berusaha membujuk adiknya dengan mengajaknya bermain-main agar tidak teringat pada telur ikan tersebut. Mulanya, O Bia Mokana berhenti menangis dan kembali bermain. Namun, selang beberapa saat kemudian, O Bia Mokana kembali menangis karena sudah tidak tahan lagi menahan lapar.
“Kakak, adik lapar sekali. Adik mau makan telur ikan itu,” pinta O Bia Mokana sambil merengek-rengek.
Semakin lama, tangis O Bia Mokana semakin keras. Bahkan, ia menangis sambil meronta-ronta dan mengguling-gulingkan badannya di tanah. Oleh karena merasa kasihan melihat adiknya, O Bia Moloku pun mengambil beberapa cuil telur ikan yang ada di lemari lalu diberikan kepada adiknya. O Bia Mokana makan dengan lahapnya sehingga telur ikan itu habis dalam waktu sekejap. Namun, rupanya beberapa telur ikan itu belum mengenyangkan perut O Bia Mokana sehingga ia kembali meminta telur ikan kepada kakaknya.
“Kakak, aku masih lapar. Aku minta telur ikan lagi,” pinta O Bia Mokana sambil merengek-rengek.
Akhirnya, O Bia Molaka memberikan semua telur ikan yang ada di lemari kepada adiknya agar tidak merengek-rengek lagi. Dengan hati gembira, O Bia Mokana segera melahap telur ikan tersebut hingga habis. Setelah kenyang, anak bungsu Malaihollo itu kembali bermain dengan riang gembira.
Sementara itu, sang mama yang masih berada di kebun bergegas kembali ke rumah karena hari sudah hampir siang.
“Wah, saya harus segera pulang. Sebentar lagi suami saya pulang dari laut,” gumamnya.
Setibanya di rumah, istri Malaihollo itu sangat senang melihat anak-anaknya sedang bermain dengan riang di halaman rumah. Setelah meletakkan sayur-sayurannya di dapur, ia kemudian menggendong si bungsu. Alangkah senangnya hati O Bia Moloku berada di dekapan ibunya sambil bersendau-gurau. Pada saat ia tertawa-tawa, sang mama melihat banyak sisa-sisa telur ikan di sela-sela giginya. Sang mama pun mulai curiga dan merasa cemas. Ia segera melepas si bungsu dari gendongannya lalu bergegas ke dapur untuk memeriksa telur ikan yang disimpannya di dalam lemari. Begitu membuka lemari itu, sang mama langsung naik pitam karena telur ikannya telah habis tanpa tersisa sedikit pun.
“O Bia Moloku! Ayo kemari!” seru sang mama.
“Ada apa, Mama?” tanya O Bia Moloku.
“Mana telur ikan pepayana yang ibu simpan di lemari ini?” tanya sang mama dengan wajah cemas.
“Maaf But... ! Tadi O Bia Mokara menangis merengek-rengek ingin makan telur ikan itu. Moloku tidak tega melihatnya menangis terus. Jadi, Moloku terpaksa memberikan telur ikan itu kepadanya,” jawab O Bia Moloku dengan gugup.
Mendengar jawaban anak sulungnya, perempuan paruh baya itu bagai disambar petir. Sejenak, ia tertegun dan sekujur tubuhnya menjadi gemetar. Ia merasakan ada firasat buruk terhadap suaminya yang sedang mencari ikan di tengah laut. Sejak menikah, ia selalu menjaga pesan suaminya. Sebab, ia percaya bahwa kebiasaan menyimpan telur ikan pepayana tersebut benar-benar terbukti keampuhannya, suaminya tidak pernah mendapat bencana saat pergi melaut walaupun dalam keadaan cuaca buruk.
“Baiklah, karena kalian tidak patuh kepada nasehat orangtua, maka terpaksa Mama harus meninggalkan kalian!” ancam sang Mama.
“Maafkan kami, Mama! Jangan tinggalkan kami!” iba O Bia Moloku.
Sang mama tidak mau lagi mendengar perkataan anaknya. Ia segera berlari ke luar rumah menuju ke arah pantai. Melihat mama-nya pergi, si bungsu pun menangis. O Bia Moloku segera menggendong adiknya lalu mengejar mama mereka.
“Mama, kembalilah! Si bungsu menangis... Si Bungsu haus...!” teriak O Bia Moloku.
“Peraslah daun katang! Di situ ada air susu,” jawab sang mama sambil terus berlari.
Akhirnya, O Bia Moloku berhenti sejenak untuk memeras daun katang dan memberi minum adiknya. Sementara itu, sang mama semakin jauh meninggalkan mereka. Setelah adiknya kenyang, O Bia Moloku segera menggendongnya dan kembali mengejar mama mereka. Begitu mereka tiba di pantai, sang mama sudah berdiri di depan sebuah batu besar.
“Mama, jangan tinggalkan kami! Kami berjanji tidak akan melanggar nasehat Mama,” iba O Bia Moloku.
Namun, tekad sang mama untuk meninggalkan mereka tidak dapat lagi dicegah. Ia segera naik di atas batu besar itu lalu berkata: “Wahai, batu besar! Terbukalah agar aku bisa masuk ke dalammu!”
Sungguh ajaib, batu besar itu perlahan-lahan terbelah menjadi dua. Begitu batu besar itu terbuka lebar, sang mama segera masuk ke dalamnya. Setelah itu, sang mama meminta kepada batu itu agar tertutup kembali.
“Wahai, Batu Besar! Mengatuplah!” seru sang mama.
Mendengar perintah itu, batu besar itu pun mengatup kembali dengan sangat cepat tanpa meninggalkan bekas celah atau retakan sedikit pun. Tak ayal lagi, istri Malaihollo itu pun tertelan oleh batu besar itu. Melihat peristiwa tersebut, O Bio Moloku dan adiknya terus menangisi kepergian mama mereka. Batu besar yang menelan istri Malaihollo tersebut kemudian dinamakan Batu Belah. Hingga saat ini, Batu Belah masih dapat ditemukan di daerah Maluku Utara.
* * *
Demikian cerita Batu Belah dari daerah Maluku Utara, Indonesia. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa seorang anak seperti O Bia Moloku yang tidak mau mendengar nasehat orangtua akan mendatangkan malapateka baik bagi dirinya maupun bagi keluarganya. Oleh karena O Bia Moloku tidak mendengar nasehat mama-nya, maka sang mama pun menjadi murka dan pergi meninggalkan mereka. Dikatakan dalam ungkapan Melayu (Tenas Effendy:1994/1995:59):
kalau durhaka ke ibu bapak,
dunia akhirat badan tercampak
Di antara para nelayan di daerah itu, ada seorang nelayan yang bernama Malaihollo. Malaihollo mempunyai seorang istri dan dua orang anak. Anaknya yang pertama seorang perempuan bernama O Bia Moloku sedangkan anak bungsunya seorang laki-laki yang masih balita bernama O Bia Mokara. Untuk menghidupi keluarganya, setiap hari Malaihollo mencari ikan di laut.
Pada suatu hari, Malaihollo pulang dari melaut lebih awal daripada hari-hari biasanya karena cuaca di laut sangat buruk. Angin bertiup kencang dan gelombang laut sangat ganas. Namun, hari itu ia berhasil memperoleh seekor ikan papayana yang cukup besar dan bertelur banyak. Dengan hati gembira dan langkah tergopoh-gopoh, ia membawa ikan itu masuk ke dalam rumah untuk diserahkan kepada istrinya.
“Ma… Ma…, Papa pulang!” seru Malaihollo.
Mendengar teriakan itu, sang istri tercinta segera menyambut kedatangannya.
“Ada apa, Papa! Kenapa Papa sudah kembali dari melaut? Bukankah hari masih pagi?” tanya istrinya heran.
“Lihat, Ma! Papa membawa ikan papayana yang sangat besar. Tolong ikan beserta telurnya dimasak sekarang untuk makan siang kita nanti! Papa ingin kembali lagi ke laut untuk mencari ikan,” pesan Malaihollo.
“Baik, Pa!” jawab istrinya seraya membawa ikan itu ke dapur untuk dimasak.
Meskipun mengetahui cuaca di laut sangat buruk, Istri Malaihollo tetap tidak memperdulikan keselamatan suaminya. Ia yakin bahwa dengan menyimpan telur ikan papayana suaminya akan baik-baik saja selama melaut.
Usai dimasak, ikan dan telur ikan papayana tersebut ia simpan di dalam lemari. Setelah itu, istri Malaihollo berniat untuk mengambil sayur-sayuran di kebun.
“Moloku, Mama mau ke kebun sebentar. Jangan kamu makan ikan yang Mama simpan di lemari! Jika kamu memakan telur ikan itu, maka Papa-mu akan terancam bahaya di laut,” pesan istri Malaihollo kepada anak sulungnya yang sedang bermain bersama adiknya di halaman rumah.
“Baik, Mama!” jawab O Bia Moloku.
Tak berapa lama setelah sang mama pergi, tiba-tiba O Bia Mokana menangis karena lapar.
“Kakak, adik lapar. Adik mau makan telur ikan,” kata O Bia Mokana.
“Jangan, Adikku! Kita tidak boleh makan telur ikan itu sebelum papa pulang dari laut,” bujuk O Bia Moloku.
O Bia Moloku terus berusaha membujuk adiknya dengan mengajaknya bermain-main agar tidak teringat pada telur ikan tersebut. Mulanya, O Bia Mokana berhenti menangis dan kembali bermain. Namun, selang beberapa saat kemudian, O Bia Mokana kembali menangis karena sudah tidak tahan lagi menahan lapar.
“Kakak, adik lapar sekali. Adik mau makan telur ikan itu,” pinta O Bia Mokana sambil merengek-rengek.
Semakin lama, tangis O Bia Mokana semakin keras. Bahkan, ia menangis sambil meronta-ronta dan mengguling-gulingkan badannya di tanah. Oleh karena merasa kasihan melihat adiknya, O Bia Moloku pun mengambil beberapa cuil telur ikan yang ada di lemari lalu diberikan kepada adiknya. O Bia Mokana makan dengan lahapnya sehingga telur ikan itu habis dalam waktu sekejap. Namun, rupanya beberapa telur ikan itu belum mengenyangkan perut O Bia Mokana sehingga ia kembali meminta telur ikan kepada kakaknya.
“Kakak, aku masih lapar. Aku minta telur ikan lagi,” pinta O Bia Mokana sambil merengek-rengek.
Akhirnya, O Bia Molaka memberikan semua telur ikan yang ada di lemari kepada adiknya agar tidak merengek-rengek lagi. Dengan hati gembira, O Bia Mokana segera melahap telur ikan tersebut hingga habis. Setelah kenyang, anak bungsu Malaihollo itu kembali bermain dengan riang gembira.
Sementara itu, sang mama yang masih berada di kebun bergegas kembali ke rumah karena hari sudah hampir siang.
“Wah, saya harus segera pulang. Sebentar lagi suami saya pulang dari laut,” gumamnya.
Setibanya di rumah, istri Malaihollo itu sangat senang melihat anak-anaknya sedang bermain dengan riang di halaman rumah. Setelah meletakkan sayur-sayurannya di dapur, ia kemudian menggendong si bungsu. Alangkah senangnya hati O Bia Moloku berada di dekapan ibunya sambil bersendau-gurau. Pada saat ia tertawa-tawa, sang mama melihat banyak sisa-sisa telur ikan di sela-sela giginya. Sang mama pun mulai curiga dan merasa cemas. Ia segera melepas si bungsu dari gendongannya lalu bergegas ke dapur untuk memeriksa telur ikan yang disimpannya di dalam lemari. Begitu membuka lemari itu, sang mama langsung naik pitam karena telur ikannya telah habis tanpa tersisa sedikit pun.
“O Bia Moloku! Ayo kemari!” seru sang mama.
“Ada apa, Mama?” tanya O Bia Moloku.
“Mana telur ikan pepayana yang ibu simpan di lemari ini?” tanya sang mama dengan wajah cemas.
“Maaf But... ! Tadi O Bia Mokara menangis merengek-rengek ingin makan telur ikan itu. Moloku tidak tega melihatnya menangis terus. Jadi, Moloku terpaksa memberikan telur ikan itu kepadanya,” jawab O Bia Moloku dengan gugup.
Mendengar jawaban anak sulungnya, perempuan paruh baya itu bagai disambar petir. Sejenak, ia tertegun dan sekujur tubuhnya menjadi gemetar. Ia merasakan ada firasat buruk terhadap suaminya yang sedang mencari ikan di tengah laut. Sejak menikah, ia selalu menjaga pesan suaminya. Sebab, ia percaya bahwa kebiasaan menyimpan telur ikan pepayana tersebut benar-benar terbukti keampuhannya, suaminya tidak pernah mendapat bencana saat pergi melaut walaupun dalam keadaan cuaca buruk.
“Baiklah, karena kalian tidak patuh kepada nasehat orangtua, maka terpaksa Mama harus meninggalkan kalian!” ancam sang Mama.
“Maafkan kami, Mama! Jangan tinggalkan kami!” iba O Bia Moloku.
Sang mama tidak mau lagi mendengar perkataan anaknya. Ia segera berlari ke luar rumah menuju ke arah pantai. Melihat mama-nya pergi, si bungsu pun menangis. O Bia Moloku segera menggendong adiknya lalu mengejar mama mereka.
“Mama, kembalilah! Si bungsu menangis... Si Bungsu haus...!” teriak O Bia Moloku.
“Peraslah daun katang! Di situ ada air susu,” jawab sang mama sambil terus berlari.
Akhirnya, O Bia Moloku berhenti sejenak untuk memeras daun katang dan memberi minum adiknya. Sementara itu, sang mama semakin jauh meninggalkan mereka. Setelah adiknya kenyang, O Bia Moloku segera menggendongnya dan kembali mengejar mama mereka. Begitu mereka tiba di pantai, sang mama sudah berdiri di depan sebuah batu besar.
“Mama, jangan tinggalkan kami! Kami berjanji tidak akan melanggar nasehat Mama,” iba O Bia Moloku.
Namun, tekad sang mama untuk meninggalkan mereka tidak dapat lagi dicegah. Ia segera naik di atas batu besar itu lalu berkata: “Wahai, batu besar! Terbukalah agar aku bisa masuk ke dalammu!”
Sungguh ajaib, batu besar itu perlahan-lahan terbelah menjadi dua. Begitu batu besar itu terbuka lebar, sang mama segera masuk ke dalamnya. Setelah itu, sang mama meminta kepada batu itu agar tertutup kembali.
“Wahai, Batu Besar! Mengatuplah!” seru sang mama.
Mendengar perintah itu, batu besar itu pun mengatup kembali dengan sangat cepat tanpa meninggalkan bekas celah atau retakan sedikit pun. Tak ayal lagi, istri Malaihollo itu pun tertelan oleh batu besar itu. Melihat peristiwa tersebut, O Bio Moloku dan adiknya terus menangisi kepergian mama mereka. Batu besar yang menelan istri Malaihollo tersebut kemudian dinamakan Batu Belah. Hingga saat ini, Batu Belah masih dapat ditemukan di daerah Maluku Utara.
* * *
Demikian cerita Batu Belah dari daerah Maluku Utara, Indonesia. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa seorang anak seperti O Bia Moloku yang tidak mau mendengar nasehat orangtua akan mendatangkan malapateka baik bagi dirinya maupun bagi keluarganya. Oleh karena O Bia Moloku tidak mendengar nasehat mama-nya, maka sang mama pun menjadi murka dan pergi meninggalkan mereka. Dikatakan dalam ungkapan Melayu (Tenas Effendy:1994/1995:59):
kalau durhaka ke ibu bapak,
dunia akhirat badan tercampak
Legenda Batu Kuwung
Alkisah, pada masa pemerintahan Sultan Haji (tahun 1683-1687 M), hiduplah seorang saudagar yang tinggal di sebuah desa di daerah Banten. Ia sangat dekat dengan sang Sultan. Karena kedekatannya tersebut, ia mendapat hak monopoli perdagangan beras dan lada untuk daerah Lampung. Tak heran, jika usahanya menjadi maju pesat, sehingga dalam waktu singkat ia menjadi saudagar kaya yang disegani. Hampir semua tanah pertanian yang ada di desa-desa sekitar tempat tinggalnya menjadi miliknya. Ia memiliki tanah itu dengan cara memeras warga, yaitu memberi hutang kepada mereka dengan bunga yang tinggi, sehingga mereka kesulitan untuk membayarnya. Para petani pun terpaksa menyerahkan tanah-tanah pertanian mereka untuk menebus hutang kepada sang Saudagar.
Penderitaan para warga pun semakin menjadi-jadi ketika saudagar kaya itu diangkat menjadi kepala desa di daerah itu. Ia senantiasa menyalahkangunakan kekuasaannya dengan cara memungut pajak lebih tinggi dari yang seharusnya. Dengan kekuasaan dan kekayaannya, ia menjadi sombong dan sering bertindak sewenang-wenang terhadap warga di sekitarnya.
Selain itu, saudagar kaya itu sangat kikir. Ia tidak mau menolong jika ada warga yang membutuhkan pertolongan. Bahkan, saking kikirnya, ia tidak mau menikah seumur hidup. Baginya, menikah dan memiliki anak adalah suatu pemborosan. Ia lebih senang hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya di atas penderitaan warga di sekitarnya. Tak heran, jika para warga menjadi benci kepadanya. Menyadari hal itu, sang Saudagar pun menyewa beberapa orang pengawal pribadi untuk menjaga harta kekayaan dan keselamatan dirinya, sehingga tak seorang warga pun yang berani untuk mengusiknya.
Pada suatu hari, berita tentang keangkuhan dan kesewenang-wenangan saudagar kaya itu sampai ke telinga seorang sakti mandraguna. Orang sakti itu pun bermaksud untuk menyadarkan sang Saudagar yang sombong dan kikir itu. Suatu pagi, ia mendatangi rumahnya dengan menyamar sebagai pengemis dan berkaki pincang.
“Ampun, Tuan! Sudilah kiranya Tuan memberi Hamba makanan dan pakaian. Sudah dua hari hamba belum makan,” iba pengemis itu sambil menunduk di depan sang Saudagar.
Si pengemis bukannya mendapat makanan dan pakaian dari sang Saudagar, melainkan caci-makian dan pelakuan kasar.
“Hai, dasar pemalas! Enak saja kau meminta-minta kepadaku!” bentak saudagar kaya itu. Pengawal! Usir pengemis hina ini dari sini!” serunya seraya mendorong pengemis itu.
Tak ayal lagi, pengemis itu pun jatuh tersungkur ke tanah. Belum sempat ia berdiri, dua orang pengawal segera menyeret dan mengusirnya. Si Pengemis yang malang itu pun murkah mendapat perlakuan kasar itu. Sebelum meninggalkan halaman rumah yang besar dan mewah itu, ia berpesan kepada sang Saudagar.
“Hai, Saudagar kaya yang sombong dan kikir! Bersiap-siaplah untuk menerima balasan yang setimpal. Kamu akan merasakan betapa pedihnya menjadi orang miskin,” ujar pengemis itu.
Begitu selesai berpesan, si Pengemis itu tiba-tiba menghilang. Alangkah terkejutnya sang Saudagar dan kedua pengawalnya menyaksikan peristiwa ajaib tersebut. Meskipun ada rasa takut di dalam hatinya setelah melihat peristiwa ajaib itu, ia berusaha untuk menepisnya.
“Ah, ada-ada saja pengemis itu. Aku takkan mungkin menjadi miskin, karena hartaku sudah sangat melimpah,” ucap sang Saudagar dengan angkuhnya.
Keesokan harinya, betapa terkejutnya sang Saudagar kaya itu ketika bangun tidur, kedua kakinya tidak bisa ia gerakkan. Ia berkali-kali berusaha untuk menggerakkannnya, tapi tetap saja tidak bisa. Ia pun panik dan berteriak histeris memanggil pengawal pribadinya.
“Pengawal! Cepat kemari tolong aku!” teriaknya dengan suara keras.
Mendengar teriakan itu, dua orang pengawalnya pun segera datang.
“Apa yang terjadi dengan Tuan?” tanya seorang pengawalnya.
“Entahlah! Tiba-tiba kakiku tidak dapat kugerakkan,” jawab sang Saudagar sambil memegang kedua kakinya.
Kedua pengawalnya berusaha untuk membantu menggerakkan kakinya, tapi tetap saja tidak bisa. Rupanya, kedua kaki saudagar kaya itu lumpuh. Dengan panik, ia segera memerintahkan seluruh pengawalnya untuk mencari tabib. Pada hari itu juga, seluruh tabib sakti dari berbagai pelosok negeri pun berdatangan untuk mengobati kedua kakinya, namun tak seorang pun yang berhasil. Dalam keadaan yang semakin panik, sang Suadagar berpesan kepada para pengawalnya untuk mengadakan sayembara.
“Pengawal! Umumkan kepada seluruh warga bahwa siapa pun yang mampu menyembuhkan aku dari kelumpuhan ini, dia akan aku berikan setengah dari harta kekayaanku,” ujar sang Saudagar.
Para pengawal setianya pun segera memasang pengumuman di tempat-tempat keramaian seperti di pasar, warung-warung kopi, maupun di pinggir-pinggir jalan ramai. Dalam waktu singkat, seluruh warga desa setempat dan warga desa-desa sekitarnya telah mengetahui perihal pengumuman tersebut, tak terkecuali pengemis itu. Mendengar kabar itu, sang Pengemis pun segera mendaftar untuk menjadi peserta sayembara.
Pada hari yang telah ditentukan, berkumpullah para peserta sayembara dari berbagai kalangan, termasuk si Pengemis itu, di halaman rumah sang Saudagar. Satu per satu para peserta dipanggil untuk mengobati penyakit sang Saudagar. Meskipun mereka telah mengeluarkan segala kemampuan dan kesaktian masing-masing, namun tak seorang pun yang menyembuhkan penyakit sang Saudagar. Bahkan, penyakitnya justru semakin parah, sehingga ia bertambah panik. Kini, tinggal si Pengemis itu yang menjadi harapan satu-satunya.
“Wahai, Pengemis! Tolonglah aku! Hanya kamulah harapanku satu-satunya yang dapat menyembuhkan penyakitku ini,” iba sang Saudagar.
Pengemis itu tersenyum sambil mengamati kedua kaki sang Saudagar.
“Begini, Tuan! Aku tahu penyebab kelumpuhanmu. Semua ini terjadi karena sifatmu yang kikir dan sombong,” ujar si Pengemis.
Betapa terkejutnya sang Saudagar mendengar jawaban si Pengemis. Ia seakan-akan tidak percaya akan hal itu.
“Jika benar yang kamu katakan itu, bagaimana cara menyembuhkannya?” tanya saudagar kaya itu penasaran.
“Jika ingin sembuh dari kelumpuhan ini, Tuan harus memenuhi tiga syarat,” ujar si Pengemis.
“Apapun syaratnya, aku berjanji akan memenuhinya. Asalkan penyakitku dapat dsembuhkan,” jawab sang Saudagar.
Mendengar jawaban itu, si Pengemis pun menyebutkan ketiga persyaratan yang harus dipenuhi oleh sang Saudagar, yaitu; pertama, sang Saudagar harus merubah sifat sombong dan kikirnya; kedua, ia harus pergi ke kaki Gunung Karang untuk bertapa di atas sebuah Batu Cekung selama tujuh hari tujuh malam, tanpa makan dan minum; ketiga, ia juga harus berjanji untuk memberikan setengah harta kekakayaannya kepada warga miskin setelah ia sembuh dari kelumpuhannya.
Sang Saudagar pun bersedia untuk memenuhi persyaratan tersebut. Sebelum ia berangkat ke Kunung Karang, si Pengemis berpesan kepadanya agar tetap tidak terpengaruh terhadap segala rintangan dan godaan yang dapat membatalkan pertapaannya. Usai berpesan demikian, pengemis itu tiba-tiba lenyap dari pandangan mata. Saudagar itu pun menyadari bahwa pengemis itu bukanlah orang sembarangan.
Setelah itu, berangkatlah ia ke Gunung Karang dengan ditandu oleh empat orang pengawal pribadinya. Mereka berjalan menelusuri jalan-jalan setapak yang dikelilingi oleh semak belukar dan pepohonan rindang. Setelah dua hari dua malam berjalan, akhirnya mereka pun tiba di kaki Gunung Karang. Di tempat itu terlihatlah sebuah batu yang cukup besar dan berbentuk cekung.
“Pengawal! Bawa aku naik ke atas batu itu!” seru sang Saudagar.
Tanpa disadarinya, ternyata keempat pengawalnya telah jatuh pingsan saat tiba di tempat itu, karena kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh. Akhirnya, dengan susah payah, saudagar itu mengesot di tanah untuk mencapai batu cekung itu dan naik duduk di atasnya.
Ketika hari mulai gelap, sang Saudagar pun segera memulai pertapaannya. Setelah tujuh hari tujuh malam ia bertapa dengan melalui berbagai rintangan dan godaan, seperti menahan lapar dan haus, serta gangguan dari binatang-binatang buas dan makhluk-makhluk halus, kejaiban pun terjadi. Tiba-tiba ia melihat ada air panas menyembur keluar dari sela-sela Batu Cekung tempatnya duduk. Dalam waktu singkat, tempat itu tergenang air, sehingga membentuk sebuah kolam kecil. Melihat peristiwa ajaib itu, sang Saudagar pun mengakhiri pertapaannya dan segera mandi di kalom itu. Betapa terkejutnya ia ketika mencebur ke dalam kolam yang berisi air panas itu. Tiba-tiba ia merasakan darahnya mengalir di kedua kakinya, dan beberapa saat kemudian kedua kakinya dapat digerakkan kembali.
“Oh, terima kasih Tuhan! Engkau telah menyembuhkan kaki Hamba,” saudagar itu mengucap syukur.
Dengan perasaan senang dan gembira, sang Saudagar bersama para pengawalnya segera kembali ke desa. Setibanya di desa, ia pun segera melaksanakan janjinya, yaitu menyerahkan sebagian harta kekayaannya kepada warga miskin di sekitarnya. Ia membagi-bagikan tanah pertaniannya kepada petani miskin untuk digarap. Setelah itu, ia menikahi seorang gadis cantik dari keluarga miskin dan kembali menjalankan tugas-tugasnya sebagai Kepala Desa dengan penuh tanggung jawab. Sejak itu, ia dikenal sebagai orang kaya yang dermawan dan Kepala Desa yang arif dan bijaksana, sehingga semua warganya menjadi senang kepadanya.
Kepada setiap orang yang bertamu ke rumahnya, sang Saudagar menceritakan perihal keajaiban sumber air panas Batu Cekung di kaki Gunung Karang yang telah menyembuhkan penyakit lumpuhnya. Lambat laun cerita dari mulut ke mulut itu pun tersebar hingga ke penjuru desa, sehingga para warga pun berbondong-bondong mendatangi tempat itu untuk mencoba kemujaraban air panas itu. Terbukti, banyak warga yang telah sembuh dari penyakitnya setelah mandi di tempat itu. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, air panas Batu Cekung tidak hanya menyembuhkan penyakit lumpuh, tetapi juga berbagai macam penyakit seperti reumatik, polio, dan pegal-pegal, karena mengandung kadar yodium dan kalsium.
* * *
Demikian cerita Legeda Batu Kuwung dari daerah Banten, Indonesia. Kini, sumber mata air panas Batu Kuwung menjadi salah salah obyek wisata menarik di daerah Banten. Oleh pemerintah setempat, obyek wisata yang memiliki luas sekitar 7,8 hektar ini diharapkan menjadi salah satu ikon pariwisata air panas di Provinsi Banten.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan, maka harta, pangkat, dan jabatannya akan membawa kebinasaan kepada dirinya sendiri, seperti yang dialami oleh sang Saudagar. Karena kegemarannya menumpuk-numpuk harta dan hidup berfoya-foya, serta menyalahgunakan jabatannya untuk menindas dan berbuat dhalim kepada warga, akhirnya ia dibenci oleh semua orang dan dimurkahi oleh Tuhan. Akibatnya, ia pun terkena penyakit lumpuh, meskipun pada akhirnya sembuh dari kelumpuhan karena telah bertobat. Terkait dengan sifat tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan, dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
rezki jangan mematikan,
harta jangan membutakan,
nikmat jangan menyesatkan.
Penderitaan para warga pun semakin menjadi-jadi ketika saudagar kaya itu diangkat menjadi kepala desa di daerah itu. Ia senantiasa menyalahkangunakan kekuasaannya dengan cara memungut pajak lebih tinggi dari yang seharusnya. Dengan kekuasaan dan kekayaannya, ia menjadi sombong dan sering bertindak sewenang-wenang terhadap warga di sekitarnya.
Selain itu, saudagar kaya itu sangat kikir. Ia tidak mau menolong jika ada warga yang membutuhkan pertolongan. Bahkan, saking kikirnya, ia tidak mau menikah seumur hidup. Baginya, menikah dan memiliki anak adalah suatu pemborosan. Ia lebih senang hidup bermewah-mewah dan berfoya-foya di atas penderitaan warga di sekitarnya. Tak heran, jika para warga menjadi benci kepadanya. Menyadari hal itu, sang Saudagar pun menyewa beberapa orang pengawal pribadi untuk menjaga harta kekayaan dan keselamatan dirinya, sehingga tak seorang warga pun yang berani untuk mengusiknya.
Pada suatu hari, berita tentang keangkuhan dan kesewenang-wenangan saudagar kaya itu sampai ke telinga seorang sakti mandraguna. Orang sakti itu pun bermaksud untuk menyadarkan sang Saudagar yang sombong dan kikir itu. Suatu pagi, ia mendatangi rumahnya dengan menyamar sebagai pengemis dan berkaki pincang.
“Ampun, Tuan! Sudilah kiranya Tuan memberi Hamba makanan dan pakaian. Sudah dua hari hamba belum makan,” iba pengemis itu sambil menunduk di depan sang Saudagar.
Si pengemis bukannya mendapat makanan dan pakaian dari sang Saudagar, melainkan caci-makian dan pelakuan kasar.
“Hai, dasar pemalas! Enak saja kau meminta-minta kepadaku!” bentak saudagar kaya itu. Pengawal! Usir pengemis hina ini dari sini!” serunya seraya mendorong pengemis itu.
Tak ayal lagi, pengemis itu pun jatuh tersungkur ke tanah. Belum sempat ia berdiri, dua orang pengawal segera menyeret dan mengusirnya. Si Pengemis yang malang itu pun murkah mendapat perlakuan kasar itu. Sebelum meninggalkan halaman rumah yang besar dan mewah itu, ia berpesan kepada sang Saudagar.
“Hai, Saudagar kaya yang sombong dan kikir! Bersiap-siaplah untuk menerima balasan yang setimpal. Kamu akan merasakan betapa pedihnya menjadi orang miskin,” ujar pengemis itu.
Begitu selesai berpesan, si Pengemis itu tiba-tiba menghilang. Alangkah terkejutnya sang Saudagar dan kedua pengawalnya menyaksikan peristiwa ajaib tersebut. Meskipun ada rasa takut di dalam hatinya setelah melihat peristiwa ajaib itu, ia berusaha untuk menepisnya.
“Ah, ada-ada saja pengemis itu. Aku takkan mungkin menjadi miskin, karena hartaku sudah sangat melimpah,” ucap sang Saudagar dengan angkuhnya.
Keesokan harinya, betapa terkejutnya sang Saudagar kaya itu ketika bangun tidur, kedua kakinya tidak bisa ia gerakkan. Ia berkali-kali berusaha untuk menggerakkannnya, tapi tetap saja tidak bisa. Ia pun panik dan berteriak histeris memanggil pengawal pribadinya.
“Pengawal! Cepat kemari tolong aku!” teriaknya dengan suara keras.
Mendengar teriakan itu, dua orang pengawalnya pun segera datang.
“Apa yang terjadi dengan Tuan?” tanya seorang pengawalnya.
“Entahlah! Tiba-tiba kakiku tidak dapat kugerakkan,” jawab sang Saudagar sambil memegang kedua kakinya.
Kedua pengawalnya berusaha untuk membantu menggerakkan kakinya, tapi tetap saja tidak bisa. Rupanya, kedua kaki saudagar kaya itu lumpuh. Dengan panik, ia segera memerintahkan seluruh pengawalnya untuk mencari tabib. Pada hari itu juga, seluruh tabib sakti dari berbagai pelosok negeri pun berdatangan untuk mengobati kedua kakinya, namun tak seorang pun yang berhasil. Dalam keadaan yang semakin panik, sang Suadagar berpesan kepada para pengawalnya untuk mengadakan sayembara.
“Pengawal! Umumkan kepada seluruh warga bahwa siapa pun yang mampu menyembuhkan aku dari kelumpuhan ini, dia akan aku berikan setengah dari harta kekayaanku,” ujar sang Saudagar.
Para pengawal setianya pun segera memasang pengumuman di tempat-tempat keramaian seperti di pasar, warung-warung kopi, maupun di pinggir-pinggir jalan ramai. Dalam waktu singkat, seluruh warga desa setempat dan warga desa-desa sekitarnya telah mengetahui perihal pengumuman tersebut, tak terkecuali pengemis itu. Mendengar kabar itu, sang Pengemis pun segera mendaftar untuk menjadi peserta sayembara.
Pada hari yang telah ditentukan, berkumpullah para peserta sayembara dari berbagai kalangan, termasuk si Pengemis itu, di halaman rumah sang Saudagar. Satu per satu para peserta dipanggil untuk mengobati penyakit sang Saudagar. Meskipun mereka telah mengeluarkan segala kemampuan dan kesaktian masing-masing, namun tak seorang pun yang menyembuhkan penyakit sang Saudagar. Bahkan, penyakitnya justru semakin parah, sehingga ia bertambah panik. Kini, tinggal si Pengemis itu yang menjadi harapan satu-satunya.
“Wahai, Pengemis! Tolonglah aku! Hanya kamulah harapanku satu-satunya yang dapat menyembuhkan penyakitku ini,” iba sang Saudagar.
Pengemis itu tersenyum sambil mengamati kedua kaki sang Saudagar.
“Begini, Tuan! Aku tahu penyebab kelumpuhanmu. Semua ini terjadi karena sifatmu yang kikir dan sombong,” ujar si Pengemis.
Betapa terkejutnya sang Saudagar mendengar jawaban si Pengemis. Ia seakan-akan tidak percaya akan hal itu.
“Jika benar yang kamu katakan itu, bagaimana cara menyembuhkannya?” tanya saudagar kaya itu penasaran.
“Jika ingin sembuh dari kelumpuhan ini, Tuan harus memenuhi tiga syarat,” ujar si Pengemis.
“Apapun syaratnya, aku berjanji akan memenuhinya. Asalkan penyakitku dapat dsembuhkan,” jawab sang Saudagar.
Mendengar jawaban itu, si Pengemis pun menyebutkan ketiga persyaratan yang harus dipenuhi oleh sang Saudagar, yaitu; pertama, sang Saudagar harus merubah sifat sombong dan kikirnya; kedua, ia harus pergi ke kaki Gunung Karang untuk bertapa di atas sebuah Batu Cekung selama tujuh hari tujuh malam, tanpa makan dan minum; ketiga, ia juga harus berjanji untuk memberikan setengah harta kekakayaannya kepada warga miskin setelah ia sembuh dari kelumpuhannya.
Sang Saudagar pun bersedia untuk memenuhi persyaratan tersebut. Sebelum ia berangkat ke Kunung Karang, si Pengemis berpesan kepadanya agar tetap tidak terpengaruh terhadap segala rintangan dan godaan yang dapat membatalkan pertapaannya. Usai berpesan demikian, pengemis itu tiba-tiba lenyap dari pandangan mata. Saudagar itu pun menyadari bahwa pengemis itu bukanlah orang sembarangan.
Setelah itu, berangkatlah ia ke Gunung Karang dengan ditandu oleh empat orang pengawal pribadinya. Mereka berjalan menelusuri jalan-jalan setapak yang dikelilingi oleh semak belukar dan pepohonan rindang. Setelah dua hari dua malam berjalan, akhirnya mereka pun tiba di kaki Gunung Karang. Di tempat itu terlihatlah sebuah batu yang cukup besar dan berbentuk cekung.
“Pengawal! Bawa aku naik ke atas batu itu!” seru sang Saudagar.
Tanpa disadarinya, ternyata keempat pengawalnya telah jatuh pingsan saat tiba di tempat itu, karena kelelahan setelah melakukan perjalanan jauh. Akhirnya, dengan susah payah, saudagar itu mengesot di tanah untuk mencapai batu cekung itu dan naik duduk di atasnya.
Ketika hari mulai gelap, sang Saudagar pun segera memulai pertapaannya. Setelah tujuh hari tujuh malam ia bertapa dengan melalui berbagai rintangan dan godaan, seperti menahan lapar dan haus, serta gangguan dari binatang-binatang buas dan makhluk-makhluk halus, kejaiban pun terjadi. Tiba-tiba ia melihat ada air panas menyembur keluar dari sela-sela Batu Cekung tempatnya duduk. Dalam waktu singkat, tempat itu tergenang air, sehingga membentuk sebuah kolam kecil. Melihat peristiwa ajaib itu, sang Saudagar pun mengakhiri pertapaannya dan segera mandi di kalom itu. Betapa terkejutnya ia ketika mencebur ke dalam kolam yang berisi air panas itu. Tiba-tiba ia merasakan darahnya mengalir di kedua kakinya, dan beberapa saat kemudian kedua kakinya dapat digerakkan kembali.
“Oh, terima kasih Tuhan! Engkau telah menyembuhkan kaki Hamba,” saudagar itu mengucap syukur.
Dengan perasaan senang dan gembira, sang Saudagar bersama para pengawalnya segera kembali ke desa. Setibanya di desa, ia pun segera melaksanakan janjinya, yaitu menyerahkan sebagian harta kekayaannya kepada warga miskin di sekitarnya. Ia membagi-bagikan tanah pertaniannya kepada petani miskin untuk digarap. Setelah itu, ia menikahi seorang gadis cantik dari keluarga miskin dan kembali menjalankan tugas-tugasnya sebagai Kepala Desa dengan penuh tanggung jawab. Sejak itu, ia dikenal sebagai orang kaya yang dermawan dan Kepala Desa yang arif dan bijaksana, sehingga semua warganya menjadi senang kepadanya.
Kepada setiap orang yang bertamu ke rumahnya, sang Saudagar menceritakan perihal keajaiban sumber air panas Batu Cekung di kaki Gunung Karang yang telah menyembuhkan penyakit lumpuhnya. Lambat laun cerita dari mulut ke mulut itu pun tersebar hingga ke penjuru desa, sehingga para warga pun berbondong-bondong mendatangi tempat itu untuk mencoba kemujaraban air panas itu. Terbukti, banyak warga yang telah sembuh dari penyakitnya setelah mandi di tempat itu. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, air panas Batu Cekung tidak hanya menyembuhkan penyakit lumpuh, tetapi juga berbagai macam penyakit seperti reumatik, polio, dan pegal-pegal, karena mengandung kadar yodium dan kalsium.
* * *
Demikian cerita Legeda Batu Kuwung dari daerah Banten, Indonesia. Kini, sumber mata air panas Batu Kuwung menjadi salah salah obyek wisata menarik di daerah Banten. Oleh pemerintah setempat, obyek wisata yang memiliki luas sekitar 7,8 hektar ini diharapkan menjadi salah satu ikon pariwisata air panas di Provinsi Banten.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah bahwa orang yang tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan, maka harta, pangkat, dan jabatannya akan membawa kebinasaan kepada dirinya sendiri, seperti yang dialami oleh sang Saudagar. Karena kegemarannya menumpuk-numpuk harta dan hidup berfoya-foya, serta menyalahgunakan jabatannya untuk menindas dan berbuat dhalim kepada warga, akhirnya ia dibenci oleh semua orang dan dimurkahi oleh Tuhan. Akibatnya, ia pun terkena penyakit lumpuh, meskipun pada akhirnya sembuh dari kelumpuhan karena telah bertobat. Terkait dengan sifat tidak pandai mensyukuri nikmat Tuhan, dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
rezki jangan mematikan,
harta jangan membutakan,
nikmat jangan menyesatkan.
Aji Saka: Asal Mula Huruf Jawa
Alkisah, di Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah, hiduplah seorang pendekar tampan yang sakti mandraguna bernama Aji Saka. Ia mempunyai sebuah keris pusaka dan serban sakti. Selain sakti, ia juga rajin dan baik hati. Ia senantiasa membantu ayahnya bekerja di ladang, dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Ke mana pun pergi, ia selalu ditemani oleh dua orang abdinya yang bernama Dora dan Sembada.
Pada suatu hari, Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara bersama Dora. Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga keris pusaka miliknya ke Pegunungan Kendeng.
“Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya dengan baik dan jangan berikan kepada siapa pun sampai aku sendiri yang mengambilnya!” pesan Aji Saka kepada Sembada.
“Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga dan merawat keris pusaka Tuan!” jawab Sembada.
Setelah itu, berangkatlah Sembada ke arah utara menuju Gunung Kendeng, sedangkan Aji Saka dan Dora berangkat mengembara menuju ke arah selatan. Mereka tidak membawa bekal pakaian kecuali yang melekat pada tubuh mereka. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat. Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan seorang laki-laki meminta tolong.
“Tolong...!!! Tolong...!!! Tolong...!!!” demikian suara itu terdengar.
Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara tersebut. Tak lama kemudian, mereka mendapati seorang laki-laki paruh baya sedang dipukuli oleh dua orang perampok.
“Hei, hentikan perbuatan kalian!” seru Aji Saka.
Kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap memukuli laki-laki itu. Melihat tindakan kedua perampok tersebut, Aji Saka pun naik pitam. Dengan secepat kilat, ia melayangkan sebuah tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan tidak sadarkan diri. Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki itu.
“Maaf, Pak! Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya Aji Saka.
Lelaki paruh baya itu pun bercerita bahwa dia seorang pengungsi dari Negeri Medang Kamukan. Ia mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu Dewata Cengkar suka memakan daging manusia. Setiap hari ia memakan daging seorang manusia yang dipersembahkan oleh Patihnya yang bernama Jugul Muda. Karena takut menjadi mangsa sang Raja, sebagian rakyat mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.
Aji Saka dan abdinya tersentak kaget mendengar cerita laki-laki tua yang baru saja ditolongnya itu.
“Bagaimana itu bisa terjadi, Pak?” tanya Aji Saka dengan heran.
“Begini, Tuan! Kegemaran Prabu Dewata Cengkar memakan daging manusia bermula ketika seorang juru masak istana teriris jarinya, lalu potongan jari itu masuk ke dalam sup yang disajikan untuk sang Prabu. Rupanya, beliau sangat menyukainya. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang makan daging manusia dan sifatnya pun berubah menjadi bengis,” jelas lelaki itu.
Mendengar pejelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke Negeri Medang Kamukan. Ia ingin menolong rakyat Medang Kamukan dari kebengisan Prabu Dewata Cengkar. Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk hutan, menyebarangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit, akhirnya mereka sampai di kota Kerajaan Medang Kamukan. Suasana kota itu tampak sepi. Kota itu bagaikan kota mati. Tak seorang pun yang terlihat lalu lalang di jalan. Semua pintu rumah tertutup rapat. Para penduduk tidak mau keluar rumah, karena takut dimangsa oleh sang Prabu.
“Apa yang harus kita lakukan, Tuan?” tanya Dora.
“Kamu tunggu di luar saja! Biarlah aku sendiri yang masuk ke istana menemui Raja bengis itu,” jawab Aji Saka dengan tegas.
Dengan gagahnya, Aji Saka berjalan menuju ke istana. Suasana di sekitar istana tampak sepi. Hanya ada beberapa orang pengawal yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang istana.
“Berhenti, Anak Muda!” cegat seorang pengawal ketika Aji Saka berada di depan pintu gerbang istana.
“Kamu siap dan apa tujuanmu kemari?” tanya pengawal itu.
“Saya Aji Saka dari Medang Kawit ingin bertemu dengan sang Prabu,” jawab Aji Saka.
“Hai, Anak Muda! Apakah kamu tidak takut dimangsa sang Prabu?” sahut seorang pengawal yang lain.
“Ketahuilah, Tuan-Tuan! Tujuan saya kemari memang untuk menyerahkan diri saya kepada sang Prabu untuk dimangsa,” jawab Aji Saka.
Para pengawal istana terkejut mendengar jawaban Aji Saka. Tanpa banyak tanya, mereka pun mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana. Saat berada di dalam istana, ia mendapati Prabu Dewata Cengkar sedang murka, karena Patih Jugul tidak membawa mangsa untuknya. Tanpa rasa takut sedikit pun, ia langsung menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri untuk dimangsa.
“Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda berkenan, hamba siap menjadi santapan Baginda hari ini,” kata Aji Saka.
Betapa senangnya hati sang Prabu mendapat tawaran makanan. Dengan tidak sabar, ia segera memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong tubuh Aji Saka untuk dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji Saka mundur selangkah, lalu berkata:
“Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon imbalan sebidang tanah seluas serban hamba ini,” pinta Aji Saka sambil menunjukkan serban yang dikenakannya.
“Hanya itu permintaanmu, hai Anak Muda! Apakah kamu tidak ingin meminta yang lebih luas lagi?” sang Prabu menawarkan.
“Sudah cukup Gusti. Hamba hanya menginginkan seluas serban ini,” jawab Aji Saka dengan tegas.
“Baiklah kalau begitu, Anak Muda! Sebelum memakanmu, akan kupenuhi permintaanmu terlebih dahulu,” kata sang Prabu.
Aji Saka pun melepas serban yang melilit di kepalanya dan menyerahkannya kepada sang Prabu.
“Ampun, Gusti! Untuk menghindari kecurangan, alangkah baiknya jika Gusti sendiri yang mengukurnya,” ujar Aji Saka.
Prabu Dewata Cengkar pun setuju. Perlahan-lahan, ia melangkah mundur sambil mengulur serban itu. Anehnya, setiap diulur, serban itu terus memanjang dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah Kerajaan Medang Kamulan. Karena saking senangnya mendapat mangsa yang masih muda dan segar, sang Prabu terus mengulur serban itu sampai di pantai Laut Selatan tanpa disadarinya,. Ketika ia masuk ke tengah laut, Aji Saka segera menyentakkan serbannya, sehingga sang Prabu terjungkal dan seketika itu pula berubah menjadi seekor buaya putih. Mengetahui kabar tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan kembali dari tempat pengungsian mereka. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar dengan gelar Prabu Anom Aji Saka. Ia memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan arif dan bijaksana, sehingga seluruh rakyatnya hidup tenang, aman, makmur, dan sentosa.
Pada suatu hari, Aji Saka memanggil Dora untuk menghadap kepadanya.
“Dora! Pergilah ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil kerisku. Katakan kepada Sembada bahwa aku yang menyuruhmu,” titah Raja yang baru itu.
“Daulah, Gusti!” jawab Dora seraya memohon diri.
Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Dora di Pegunungan Gendeng. Ketika kedua sahabat tersebut bertemu, mereka saling rangkul untuk melepas rasa rindu. Setelah itu, Dora pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Sembada.
“Sembada, sahabatku! Kini Tuan Aji Saka telah menjadi raja Negeri Medang Kamulan. Beliau mengutusku kemari untuk mengambil keris pusakanya untuk dibawa ke istana,” ungkap Dora.
“Tidak, sabahatku! Tuan Aji berpesan kepadaku bahwa keris ini tidak boleh diberikan kepada siapa pun, kecuali beliau sendiri yang datang mengambilnya,” kata Sembada dengan tegas.
Karena merasa mendapat tanggungjawab dari Aji Saka, Dora pun harus mengambil keris itu dari tangan Sembada untuk dibawa ke istana. Kedua dua orang abdi bersahabat tersebut tidak ada yang mau mengalah. Mereka bersikeras mempertahankan tanggungjawab masing-masing dari Aji Saka. Mereka bertekad lebih baik mati daripada menghianati perintah tuannya. Akhirnya, terjadilah pertarungan sengit antara kedua orang bersahabat tersebut. Mereka sama kuat dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati bersama.
Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari Pegunung Gendeng membawa kerisnya.
“Apa yang terjadi dengan Dora? Kenapa sampai saat ini dia belum juga kembali?” gumam Aji Saka.
Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul abdinya itu ke Pegunungan Gendeng seorang diri. Betapa terkejutnya ia saat tiba di sana. Ia mendapati kedua abdi setianya telah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan kesetiaannya kepada tuan mereka. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan. Adapun susunan hurufnya sebagai berikut:
Artinya:
Ha na ca ra ka : Ada utusan
Da ta sa wa la : Saling bertengkar
Pa dha ja ya nya : Sama saktinya
Ma ga ba tha nga : Mati bersama
* * *
Demikian legenda Aji Saka: Asal Mula Huruf Jawa, dari daerah Jawa Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari legenda di atas adalah bahwa orang yang suka menolong akan mendapat ganjaran yang setimpal, seperti Aji Saka. Ia telah menyelamatkan rakyat Negeri Medang Kamulan dari keberingasan Prabu Dewata Cengkar yang suka memangsa manusia itu. Berkat pertolongannya, rakya Negeri Medang Kamulan pun menobatkannya menjadi raja untuk menggantikan Prabu Dewata Cengkar. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat suka menolong ini sangatlah dijunjung tinggi. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
adat hidup Melayu terpilih:
sesama makhluk berbagi kasih
menolong dengan muka yang jernih
menolong dengan hati yang bersih
pantang mencari silang selisih
taat serta tiada beralih
Pada suatu hari, Aji Saka meminta izin kepada ayahnya untuk pergi mengembara bersama Dora. Sementara, Sembada ditugaskan untuk membawa dan menjaga keris pusaka miliknya ke Pegunungan Kendeng.
“Sembada! Bawa keris pusaka ini ke Pegunungan Kendeng. Kamu harus menjaganya dengan baik dan jangan berikan kepada siapa pun sampai aku sendiri yang mengambilnya!” pesan Aji Saka kepada Sembada.
“Baik, Tuan! Saya berjanji akan menjaga dan merawat keris pusaka Tuan!” jawab Sembada.
Setelah itu, berangkatlah Sembada ke arah utara menuju Gunung Kendeng, sedangkan Aji Saka dan Dora berangkat mengembara menuju ke arah selatan. Mereka tidak membawa bekal pakaian kecuali yang melekat pada tubuh mereka. Setelah setengah hari berjalan, sampailah mereka di sebuah hutan yang sangat lebat. Ketika akan melintasi hutan tersebut, tiba-tiba Aji Saka mendengar teriakan seorang laki-laki meminta tolong.
“Tolong...!!! Tolong...!!! Tolong...!!!” demikian suara itu terdengar.
Mendengar teriakan itu, Aji Saka dan Dora segera menuju ke sumber suara tersebut. Tak lama kemudian, mereka mendapati seorang laki-laki paruh baya sedang dipukuli oleh dua orang perampok.
“Hei, hentikan perbuatan kalian!” seru Aji Saka.
Kedua perampok itu tidak menghiraukan teriakan Aji Saka. Mereka tetap memukuli laki-laki itu. Melihat tindakan kedua perampok tersebut, Aji Saka pun naik pitam. Dengan secepat kilat, ia melayangkan sebuah tendangan keras ke kepala kedua perampok tersebut hingga tersungkur ke tanah dan tidak sadarkan diri. Setelah itu, ia dan abdinya segera menghampiri laki-laki itu.
“Maaf, Pak! Kalau boleh kami tahu, Bapak dari mana dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya Aji Saka.
Lelaki paruh baya itu pun bercerita bahwa dia seorang pengungsi dari Negeri Medang Kamukan. Ia mengungsi karena raja di negerinya yang bernama Prabu Dewata Cengkar suka memakan daging manusia. Setiap hari ia memakan daging seorang manusia yang dipersembahkan oleh Patihnya yang bernama Jugul Muda. Karena takut menjadi mangsa sang Raja, sebagian rakyat mengungsi secara diam-diam ke daerah lain.
Aji Saka dan abdinya tersentak kaget mendengar cerita laki-laki tua yang baru saja ditolongnya itu.
“Bagaimana itu bisa terjadi, Pak?” tanya Aji Saka dengan heran.
“Begini, Tuan! Kegemaran Prabu Dewata Cengkar memakan daging manusia bermula ketika seorang juru masak istana teriris jarinya, lalu potongan jari itu masuk ke dalam sup yang disajikan untuk sang Prabu. Rupanya, beliau sangat menyukainya. Sejak itulah sang Prabu menjadi senang makan daging manusia dan sifatnya pun berubah menjadi bengis,” jelas lelaki itu.
Mendengar pejelasan itu, Aji Saka dan abdinya memutuskan untuk pergi ke Negeri Medang Kamukan. Ia ingin menolong rakyat Medang Kamukan dari kebengisan Prabu Dewata Cengkar. Setelah sehari semalam berjalan keluar masuk hutan, menyebarangi sungai, serta menaiki dan menuruni bukit, akhirnya mereka sampai di kota Kerajaan Medang Kamukan. Suasana kota itu tampak sepi. Kota itu bagaikan kota mati. Tak seorang pun yang terlihat lalu lalang di jalan. Semua pintu rumah tertutup rapat. Para penduduk tidak mau keluar rumah, karena takut dimangsa oleh sang Prabu.
“Apa yang harus kita lakukan, Tuan?” tanya Dora.
“Kamu tunggu di luar saja! Biarlah aku sendiri yang masuk ke istana menemui Raja bengis itu,” jawab Aji Saka dengan tegas.
Dengan gagahnya, Aji Saka berjalan menuju ke istana. Suasana di sekitar istana tampak sepi. Hanya ada beberapa orang pengawal yang sedang mondar-mandir di depan pintu gerbang istana.
“Berhenti, Anak Muda!” cegat seorang pengawal ketika Aji Saka berada di depan pintu gerbang istana.
“Kamu siap dan apa tujuanmu kemari?” tanya pengawal itu.
“Saya Aji Saka dari Medang Kawit ingin bertemu dengan sang Prabu,” jawab Aji Saka.
“Hai, Anak Muda! Apakah kamu tidak takut dimangsa sang Prabu?” sahut seorang pengawal yang lain.
“Ketahuilah, Tuan-Tuan! Tujuan saya kemari memang untuk menyerahkan diri saya kepada sang Prabu untuk dimangsa,” jawab Aji Saka.
Para pengawal istana terkejut mendengar jawaban Aji Saka. Tanpa banyak tanya, mereka pun mengizinkan Aji Saka masuk ke dalam istana. Saat berada di dalam istana, ia mendapati Prabu Dewata Cengkar sedang murka, karena Patih Jugul tidak membawa mangsa untuknya. Tanpa rasa takut sedikit pun, ia langsung menghadap kepada sang Prabu dan menyerahkan diri untuk dimangsa.
“Ampun, Gusti Prabu! Hamba Aji Saka. Jika Baginda berkenan, hamba siap menjadi santapan Baginda hari ini,” kata Aji Saka.
Betapa senangnya hati sang Prabu mendapat tawaran makanan. Dengan tidak sabar, ia segera memerintahkan Patih Jugul untuk menangkap dan memotong-motong tubuh Aji Saka untuk dimasak. Ketika Patih Jugul akan menangkapnya, Aji Saka mundur selangkah, lalu berkata:
“Ampun, Gusti! Sebelum ditangkap, Hamba ada satu permintaan. Hamba mohon imbalan sebidang tanah seluas serban hamba ini,” pinta Aji Saka sambil menunjukkan serban yang dikenakannya.
“Hanya itu permintaanmu, hai Anak Muda! Apakah kamu tidak ingin meminta yang lebih luas lagi?” sang Prabu menawarkan.
“Sudah cukup Gusti. Hamba hanya menginginkan seluas serban ini,” jawab Aji Saka dengan tegas.
“Baiklah kalau begitu, Anak Muda! Sebelum memakanmu, akan kupenuhi permintaanmu terlebih dahulu,” kata sang Prabu.
Aji Saka pun melepas serban yang melilit di kepalanya dan menyerahkannya kepada sang Prabu.
“Ampun, Gusti! Untuk menghindari kecurangan, alangkah baiknya jika Gusti sendiri yang mengukurnya,” ujar Aji Saka.
Prabu Dewata Cengkar pun setuju. Perlahan-lahan, ia melangkah mundur sambil mengulur serban itu. Anehnya, setiap diulur, serban itu terus memanjang dan meluas hingga meliputi seluruh wilayah Kerajaan Medang Kamulan. Karena saking senangnya mendapat mangsa yang masih muda dan segar, sang Prabu terus mengulur serban itu sampai di pantai Laut Selatan tanpa disadarinya,. Ketika ia masuk ke tengah laut, Aji Saka segera menyentakkan serbannya, sehingga sang Prabu terjungkal dan seketika itu pula berubah menjadi seekor buaya putih. Mengetahui kabar tersebut, seluruh rakyat Medang Kamulan kembali dari tempat pengungsian mereka. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi Raja Medang Kamulan menggantikan Prabu Dewata Cengkar dengan gelar Prabu Anom Aji Saka. Ia memimpin Kerajaan Medang Kamulan dengan arif dan bijaksana, sehingga seluruh rakyatnya hidup tenang, aman, makmur, dan sentosa.
Pada suatu hari, Aji Saka memanggil Dora untuk menghadap kepadanya.
“Dora! Pergilah ke Pegunungan Kendeng untuk mengambil kerisku. Katakan kepada Sembada bahwa aku yang menyuruhmu,” titah Raja yang baru itu.
“Daulah, Gusti!” jawab Dora seraya memohon diri.
Setelah berhari-hari berjalan, sampailah Dora di Pegunungan Gendeng. Ketika kedua sahabat tersebut bertemu, mereka saling rangkul untuk melepas rasa rindu. Setelah itu, Dora pun menyampaikan maksud kedatangannya kepada Sembada.
“Sembada, sahabatku! Kini Tuan Aji Saka telah menjadi raja Negeri Medang Kamulan. Beliau mengutusku kemari untuk mengambil keris pusakanya untuk dibawa ke istana,” ungkap Dora.
“Tidak, sabahatku! Tuan Aji berpesan kepadaku bahwa keris ini tidak boleh diberikan kepada siapa pun, kecuali beliau sendiri yang datang mengambilnya,” kata Sembada dengan tegas.
Karena merasa mendapat tanggungjawab dari Aji Saka, Dora pun harus mengambil keris itu dari tangan Sembada untuk dibawa ke istana. Kedua dua orang abdi bersahabat tersebut tidak ada yang mau mengalah. Mereka bersikeras mempertahankan tanggungjawab masing-masing dari Aji Saka. Mereka bertekad lebih baik mati daripada menghianati perintah tuannya. Akhirnya, terjadilah pertarungan sengit antara kedua orang bersahabat tersebut. Mereka sama kuat dan tangguhnya, sehingga mereka pun mati bersama.
Sementara itu, Aji Saka sudah mulai gelisah menunggu kedatangan Dora dari Pegunung Gendeng membawa kerisnya.
“Apa yang terjadi dengan Dora? Kenapa sampai saat ini dia belum juga kembali?” gumam Aji Saka.
Sudah dua hari Aji Saka menunggu, namun Dora tak kunjung tiba. Akhirnya, ia memutuskan untuk menyusul abdinya itu ke Pegunungan Gendeng seorang diri. Betapa terkejutnya ia saat tiba di sana. Ia mendapati kedua abdi setianya telah tewas. Mereka tewas karena ingin membuktikan kesetiaannya kepada tuan mereka. Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya tersebut, Aji Saka menciptakan aksara Jawa atau dikenal dengan istilah dhentawyanjana, yang mengisahkan pertarungan antara dua abdinya yang memiliki kesaktiaan yang sama dan tewas bersama. Huruf-huruf tersebut juga dikenal dengan istilah carakan. Adapun susunan hurufnya sebagai berikut:
Artinya:
Ha na ca ra ka : Ada utusan
Da ta sa wa la : Saling bertengkar
Pa dha ja ya nya : Sama saktinya
Ma ga ba tha nga : Mati bersama
* * *
Demikian legenda Aji Saka: Asal Mula Huruf Jawa, dari daerah Jawa Tengah. Pesan moral yang dapat dipetik dari legenda di atas adalah bahwa orang yang suka menolong akan mendapat ganjaran yang setimpal, seperti Aji Saka. Ia telah menyelamatkan rakyat Negeri Medang Kamulan dari keberingasan Prabu Dewata Cengkar yang suka memangsa manusia itu. Berkat pertolongannya, rakya Negeri Medang Kamulan pun menobatkannya menjadi raja untuk menggantikan Prabu Dewata Cengkar. Dalam kehidupan orang Melayu, sifat suka menolong ini sangatlah dijunjung tinggi. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
adat hidup Melayu terpilih:
sesama makhluk berbagi kasih
menolong dengan muka yang jernih
menolong dengan hati yang bersih
pantang mencari silang selisih
taat serta tiada beralih
Langganan:
Postingan (Atom)