Rabu, 22 September 2010

Keramat Riak

Keramat Riak adalah nama sebuah negeri di daerah Bengkulu, Indonesia. Pada mulanya negeri itu dihuni oleh sekolompok masyarakat yang dipimpin oleh seorang raja bernama Riak Bakau. Suatu ketika, negeri itu berubah menjadi hutan lebat dan seluruh penduduknya menjelma menjadi kera. Peristiwa apakah yang terjadi di negeri itu? Ikuti kisahnya dalam cerita Keramat Riak berikut!

* * *

Suatu siang yang terik, tampak seorang kakek misterius berjalan terseok-seok sambil menggendong sebuah jala di depan paseba (pendapa) istana Keramat Riak. Kakek itu tampak begitu lelah. Rupanya, ia baru saja pulang dari sungai mencari ikan. Ia pun memutuskan untuk duduk beristirahat di depan paseba yang selalu dijaga ketat oleh dua orang prajurit. Jalanya yang memakai pemberat dari rantai emas diletakkan begitu saja di tanah. Rantai jala itu berkilau diterpa sinar matahari sehingga menarik perhatian kedua prajurit itu. Akhirnya, kedua prajurit itu menghampiri dan menyapa si kakek dengan ramah.

“Wah, jala Kakek bagus sekali,” sapa salah seorang prajurit dengan perasaan kagum.

“Iya, Tuan! Jala ini warisan nenek moyang Kakek. Setiap hari Kakek menggunakannya sebagai alat mata pencaharian Kakek,” jawab kakek itu.

“O ya, Tuan! Bolehkah saya menumpang shalat dhuhur di paseba ini,” pinta kakek itu.

“Boleh… boleh… Silakan Kek!” jawab kedua prajurit itu serentak.

Kakek itu pun masuk ke dalam paseba. Jalanya dibiarkan tergeletak di luar paseba. Saat kakek itu sedang shalat, kedua prajurit yang sejak tadi merasa penasaran segera mendekati jala itu. Setelah dicermati secara seksama, ternyata benar bahwa rantai jala itu terbuat dari emas. Namun, betapa terkejutnya mereka saat hendak mengangkat jala itu yang ternyata sangat berat dan seolah-olah menempel di tanah.

“Aneh, kenapa rantai jala ini berat sekali?” gumam salah seorang prajurit yang mencoba mengangkat jala itu. “Ayo kawan, bantu aku mengangkat jala ini!” serunya.

Kedua prajurit tersebut berusaha mengangkat jala milik si kakek secara bersama-sama. Apa yang terjadi? Jangankan terangkat, jala itu tidak bergeser sedikit pun. Melihat keanehan itu, salah seorang dari prajurit tersebut bergegas melaporkan kejadian aneh itu kepada Raja Riak Bakau di istana. Raja Riak Bakau dikenal sebagai raja yang kejam. Ia tidak segan-segan menghukum bagi siapa saja yang menentangnya.

Mendengar laporan dari prajurit itu, Raja Riak Bakau yang diiringi beberapa pengawalnya segera menemui si pemilik jala itu. Setibanya di depan paseba, kakek itu telah selesai shalat dhuhur dan bersiap-siap untuk pulang.

“Tunggu, Kek!” cegah Raja Riak Bakau.

Menyadari bahwa orang yang menegurnya itu adalah sang Raja, kakek itu segera memberi hormat seraya menjawab:

“Ampun, Baginda! Izinkanlah hamba pergi!” pinta kakek itu.

“Jangan pergi dulu, Kek! Aku ada perlu dengan Kakek,” kata Raja Riak Bakau.

“Ampun, Baginda! Ada yang bisa hamba bantu?” tanya kakek itu.

“Hai, Kakek yang budiman. Bolehkah aku memiliki jala rantai emasmu itu?” pinta Raja Riak Bakau.

“Maafkan hamba Baginda! Bukannya hamba bermaksud mengecewakan hati Baginda. Hamba belum bisa memenuhi permintaan Baginda. Jala ini satu-satunya harta warisan hamba,” ungkap kakek itu.

Mendengar jawaban itu, Raja Riak Bakau mulai kesal karena baru kali ada orang di negeri itu yang berani menolak permintaannya.

“Hai, Kakek! Ketahuilah, akulah penguasa di negeri ini. Siapa pun yang memijak tanah negeri ini harus tunduk padaku. Jika tidak, maka tahu sendirilah akibatnya,” ancam Raja Riak Bakau.

Kakek itu tidak takut terhadap ancaman itu. Ia tetap pada pendiriannya untuk tidak menyerahkan jala emasnya kepada Raja Riak Bakau. Sikap kakek itu membuat Raja Riak Bakau bertambah kesal.

“Hai, Kakek! Serahkan jalamu itu sekarang juga atau aku sendiri yang akan mengambilnya!” seru Raja Riak Bakau.

“Silakan, jika Baginda sanggup mengangkatnya,” kata kakek itu.

Raja Riak Bakau yang merasa diremehkan oleh kakek itu segera mengangkat jala rantai emas dengan segenap kekuatannya. Namun, jala itu tidak bergerak sedikit pun. Meskipun ia telah memerintahkan beberapa prajuritnya untuk mengangkatnya, jala itu tetap saja tidak bisa diangkat. Akhirnya, Raja Riak Bakau mengakui kesaktian kakek itu. Namun, Raja Riak Bakau tidak kehabisan akal.

“Baiklah, Kek! Aku mengakui kesaktianmu. Tapi, bagaimana kalau kita mengadu ayam saja. Jika ayamku kalah, kamu boleh memiliki semua harta dan kekuasaanku. Tapi, jika ayammu kalah, jala rantai emas itu menjadi milikku,” tantang Raja Riak Bakau.

Semula kakek itu menolak, namun karena terus didesak oleh Raja Riak Bakau akhirnya ia pun menerima tantangan itu. Akhirnya disepakati bahwa pertandingan sabung ayam akan dilaksanakan di depan istana tiga hari kemudian.

Kabar tentang pertandingan sabung ayam itu tersebar hingga ke seluruh pelosok negeri. Pada hari yang telah ditentukan, pertandingan sabung ayam segera dimulai dan disaksikan oleh seluruh rakyat Negeri Keramat Riak. Kakek misterius itu membawa seekor ayam aduan bertubuh kurus, sedangkan ayam aduan milik Raja Riak Bakau bertubuh besar dan gagah. Melihat ayam aduan kakek itu, Raja Riak Bakau merasa yakin akan memenangkan pertandingan tersebut.

Begitu gong dibunyikan sebagai tanda pertandingan sabung ayam dimulai, Raja Riak Bakau dan kakek itu segera melepaskan ayam aduan mereka di arena pertarungan. Kedua ayam aduan itu pun langsung berhadap-hadapan dan selanjutnya bertarung. Ayam aduan Raja Riak Bakau langsung menyerang secara bertubi-tubi sehingga ayam aduan kakek itu harus melompat ke sana-kemari untuk menghindar dan sesekali jatuh terkena tendangan kaki ayam aduan Raja Riak Bakau. Setelah beberapa lama pertarungan itu berlangsung, ayam aduan Raja Riak Bakau mulai kelelahan. Kini, giliran ayam aduan kakek itu yang menyerang. Hanya sekali tendang, ayam aduan Raja Riak Bakau langsung jatuh dan tidak bisa melanjutkan pertarungan.

Walaupun ayam aduannya kalah, Raja Riak Bakau tidak terima atas kekalahan itu karena tidak ingin kehilangan seluruh harta dan kekuasaannya. Akhirnya, ia menantang kakek itu untuk bertarung. Namun, kakek itu kembali menolak tantangan tersebut.

“Ampun, Baginda! Hamba tidak ingin bertarung karena itu tidak ada manfaatnya. Bagaimana kalau hasil pertandingan tadi kita anggap impas. Hamba tidak akan menuntut apapun dari Baginda, tapi izinkanlah hamba pergi membawa jala rantai emas hamba ini,” pinta kakek itu dengan kata-kata bijaksana.

Raja Riak Bakau pun mengambulkan permintaan kakek itu. Sebelum pergi, kakek itu mampir shalat di paseba dan jalanya diletakkan di depan paseba. Rupanya, Raja Riak Bakau bersama pengawalnya membuntuti kakek itu secara diam-diam karena masih berninat untuk memiliki jala rantai emas itu. Ketika melihat kakek itu sedang khusyuk shalat, Raja Riak Bakau segera menghunus keris yang terselip di pinggangnya lalu menusuk tubuh kakek itu dari belakang. Sungguh ajaib, walaupun dalam keadaan terluka parah, kakek itu masih dapat menyelesaikan shalatnya.

Usai mengucapkan salam, kakek misterius itu segera mengambil lidi lalu ditancapkan di empat sudut paseban dan kemudian pergi meninggalkan negeri itu. Begitu kakek itu berlalu, beberapa prajurit berusaha mencabut lidi itu, namun tak seorang pun yang berhasil. Akhirnya, terpaksa Raja Riak Bakau sendiri yang mencabutnya. Begitu lidi-lidi tersebut tercabut, air menyembur keluar dengan derasnya. Makin lama semburan air semakin deras sehingga dalam waktu sekejap air menggenangi seluruh negeri itu. Seluruh penduduk berusaha menyelamatkan diri. Ada yang berlari ke gunung, sedangkan Raja Riak Bakau beserta pengikutnya berusaha memanjat pohon yang tinggi agar tidak terkena luapan air yang hampir menenggelamkan seluruh negeri itu.

Raja Riak Bakau beserta pengikutnya yang berada di atas pohon masih selamat. Namun, Tuhan terlanjur murka kepada mereka. Tiba-tiba, langit menjadi gelap. Beberapa saat kemudian, hujan deras turun disertai angin kencang. Raja Riak Bakau yang berada di atas pohon beserta pengikutnya terombang-ambing diterpa angin kencang. Pada saat itulah terdengar suara menggema dari balik awan.

“Wahai, Raja Riak Bakau dan seluruh rakyat Keramat Biak! Kalian itu bergelantungan seperti kera saja!” demikian pesan dari suara misterius itu.

Begitu suara itu hilang, tiba-tiba Raja Riak Bakau dan seluruh warganya yang selamat menjelma menjadi kera. Setelah itu, hujan deras kembali reda dan cuaca kembali cerah. Air pun mulai surut sehingga yang terlihat hanya kera-kera yang bergelantungan di atas pohon. Lama-kelamaan negeri itu menjadi hutan rimba dan dihuni oleh kawanan kera. Sementara itu, kakek yang misterius itu menghilang entah ke mana.

Beberapa tahun kemudian, beberapa awak kapal dari Cina mendarat di hutan lebat itu. Konon, mereka itu adalah pedagang yang pernah ditolong oleh si kakek misterius. Mereka datang untuk memenuhi pesan sang kakek agar dibuatkan makam di Keramat Riak. Mereka pun membuat sebuah makam yang cukup megah di daerah itu. Pada nisan makam itu tertulis Syekh Abdullatif, yaitu nama dari kakek misterius itu. Selanjutnya, makam itu dinamakan makam Keramat Riak.

* * *

Demikian cerita Keramat Riak dari daerah Bengkulu. Cerita di atas tergolong kategori cerita legenda yang mengandung pesan-pesan moral. Sedikitnya ada dua pesan moral yang dapat dipetik yaitu keutamaan sifat rendah hati dan akibat buruk dari sifat serakah.

Pertama, sifat rendah hati, yaitu terlihat pada sikap dan perilaku kakek misterius atau yang disebut-sebut sebagai Syekh Abdullatif. Ia seorang wali Allah yang tidak suka memamerkan kesaktiannya kepada orang lain. Sifat ini perlu dijadikan suri teladan bahwa sekiranya kita mempunyai ilmu yang tinggi dalam hal apa pun hendaknya tidak dipamer-pamerkan. Tetapi sebaliknya, ilmu itu kita manfaatkan untuk menolong sesama makhluk hidup.

Kedua, akibat buruk dari sifat serakah, yaitu terlihat pada sikap dan perilaku Raja Riak Bakau yang tidak pernah merasa cukup terhadap harta kekayaan yang sudah dimilikinya. Berbagai tipu muslihat dilakukannya agar bisa memiliki jala rantai emas milik kakek itu. Karena keserakahannya, Tuhan pun menghukum Raja Riak Bakau dan seluruh pengikutnya menjadi kera.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar