Pada zaman dahulu, tersebutlah sepasang kerajaan kembar di Nusa Tenggara Barat, yaitu Kerajaan Daha dan Kerajaan Keling. Dikatakan kerajaan kembar karena kedua kerajaan tersebut dipimpin oleh dua raja kakak-beradik. Raja Daha adalah sang kakak sedangkan Raja Keling adiknya. Kedua raja tersebut sama-sama telah menikah, namun belum juga dikaruniai seorang anak. Akhirnya, mereka bersepakat untuk pergi bernazar di puncak Bukit Batu Kemeras yang terletak di antara kedua kerajaan mereka.
Pada hari yang telah ditentukan, Raja Daha dan Raja Keling datang ke puncak bukit tersebut untuk menyampaikan nazar mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Setibanya di sana, Raja Keling yang terlebih dahulu menyampaikan nazarnya.
“Oh, Tuhan! Jika hamba dikaruniai seorang anak, hamba akan membawa daun sirih ke tempat ini!” ucap Raja Keling dengan penuh kayakinan.
Mendengar nazar adiknya itu, Raja Daha tersenyum seraya bertanya, “Hanya itukah nazarmu, Adikku? Apakah para dewa akan mengabulkan permintaanmu dengan nazarmu yang sangat ringan itu?”
“Entahlah, Kakanda! Yang penting Adinda telah menyampaikan nazar ini dengan niat ikhlas,” jawab Raja Keling.
Setelah itu, giliran Raja Daha yang menyampaikan nazarnya. Karena sangat berharap memiliki seorang anak, maka ia menyampaikan nazar yang cukup berat.
“Oh, Tuhan! Kabulkan permintaan hamba ini! Jika hamba dikaruniai seorang anak, hamba akan mempersembahkan seekor lembu berselimut sutera, bertanduk emas, dan berkuku perak di tempat ini!” ucap Raja Daha.
Setelah menyampaikan nazar, kedua raja kakak-beradik tersebut kembali ke kerajaan masing-masing. Sebulan kemudian, masing-masing istri dari kedua raja tersebut diketahui mengandung. Betapa senang hati Raja Daha dan Raja Keling mendengar kabar gembira tersebut.
Beberapa bulan kemudian, para permaisuri itu melahirkan dalam waktu yang hampir bersamaan. Istri Raja Keling melahirkan seorang anak laki-laki tampan sehari sebelum istri Raja Daha melahirkan bayi perempuannya yang cantik jelita.
Selang beberapa hari kemudian, Raja Keling dan Raja Daha bersama istri dan anak beserta para pengawal mereka datang ke Bukit Batu Kemeras untuk membayar nazar. Oleh karena rasa syukur yang mendalam, Raja Keling membayar nazar lebih besar dari apa yang dia niatkan, yaitu dengan membawa seekor lembu berselimut sutera, bertanduk emas, dan berkuku perak.
Sementara itu, Raja Daha membayar nazarnya jauh lebih kecil dari apa yang dia niatkan, yaitu hanya membawa seekor lembu biasa. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, apa yang dilakukan Raja Daha tersebut merupakan suatu pantangan dan dapat mendatangkan malapetaka baginya.
Ternyata, apa yang diyakini masyarakat tersebut benar-benar terjadi. Di tengah perjalanan pulang, rombongan Raja Daha tiba-tiba dihadang oleh angin puting beliung. Angin itu berputar-putar dan menerbangkan putri Raja Daha. Semakin lama, angin itu semakin jauh menerbangkan sang bayi. Raja Daha dan istrinya tak kuasa menahan tangis karena kehilangan putri semata wayangnya.
Sementara itu, putri Raja Daha yang diterbangkan angin itu akhirnya jatuh di sebuah taman di pinggir danau. Bayi itu kemudian ditemukan oleh sepasang suami istri penjaga taman yang bernama Pak Bangkol dan Bu Bangkol. Mereka mengambil bayi itu untuk dijadikan anak angkat dan memberinya nama Cilinaya.
Waktu terus berjalan. Cilinaya pun tumbuh menjadi gadis yang cantik nan rupawan. Ia adalah gadis yang cerdas. Berbagai ilmu seperti menenun, memasak, dan merangkai bunga yang diajarkan oleh Bu Bangkol kepadanya dapat dikuasainya dengan cepat.
Setiap selesai menenun, Cilinaya sering bermain sendiri di taman bunga. Suatu hari, ketika Cilinaya sedang asyik bermain di taman itu, ia bertemu dengan seorang pemuda tampan yang sedang melintas di daerah itu. Rupanya, pemuda itu adalah putra Raja Keling yang bernama Raden Panji. Berawal dari pertemuan itulah hingga akhirnya mereka saling jatuh cinta dan menikah.
Setelah beberapa lama tinggal di rumah Pak Bongkol, Raden Panji kembali ke Kerajaan Keling untuk memperkenalkan Cilinaya kepada kedua orang tuanya. Ketika itu, Cilinaya sedang hamil tua. Setibanya di istana, Raden Panji menceritakan semua perihal tentang diri dan keluarga Cilinaya kepada ayahandanya.
“Maafkan Nanda, Ayah! Nanda telah menikah tanpa memberitahu Ayahanda sebelumnya. Perkenalkan, ini istri Nanda, Ayah! Namanya Cilinaya. Ia adalah anak penjaga taman,” ungkap Raden Panji di hadapan ayahandanya.
Mendengar cerita itu, Raja Keling merasa sangat kecewa karena putranya menikah dengan anak orang biasa. Hal itu tentu saja akan mencoreng nama baik keluaga besar Istana Keling. Meski demikian, Raja Keling tetap menyembunyikan perasaan kecewa itu.
Pada suatu hari, Raja Keling berpura-pura sakit, lalu menyuruh Raden Panji mencarikannya hati kijang ke hutan untuk mengobati sakitnya. Begitu putranya berangkat ke hutan, Raja Keling segera memerintahkan patihnya untuk menghabisi nyawa Cilinaya.
“Patih, singkirkan istri Raden Panji dari istana! Aku tidak ingin nama baik keluarga istana ini tercoreng gara-gara mempunyai menantu dari orang biasa!” seru Raja Keling.
“Baik, Baginda! Perintah Baginda segera hamba laksanakan,” jawab Patih istana.
Bersama beberapa pengawal istana, Patih itu menangkap Cilinaya yang baru saja melahirkan seorang anak laki-laki. Setelah itu, mereka membawa Cilinaya bersama anaknya ke pantai Tanjung Menangis. Sesampainya di bawah sebuah pohon ketapang yang rindang, mereka pun berhenti.
Sebelum diakhiri hidupnya, Cilinaya memeluk erat-erat putranya lalu berpesan kepada Patih dan pengawalnya.
“Dengarlah, wahai Tuan-Tuan! Jika darah saya nanti berbau amis berarti itu menandakan bahwa saya adalah anak orang biasa. Namun, jika darah saya berbau harum berarti saya putri seorang raja,” pesan Putri Cilinaya.
Setelah mendengar pesan itu, Patih istana segera menghabisi nyawa Cilinaya dengan sebuah keris. Tak ayal lagi, istri Raden Panji itu pun tergeletak di tanah sambil memeluk bayinya yang sedang menangis. Darah yang menetes keluar di tubuhnya menebarkan bau yang sangat harum. Patih dan para pengawal istana sangat menyesal ketika mencium bau harum itu. Mereka menyesal karena telah menghabisi nyawa Cilinaya yang ternyata adalah seorang putri raja. Namun, apa hendak dibuat, nyawa Cilinaya tidak tertolong lagi. Mereka pun segera kembali ke istana untuk melaporkan peristiwa itu kepada Raja Keling.
Sementara itu, Raden Panji bersama pengawalnya yang kebetulan melintas di daerah itu mendengar suara tangis bayi. Mereka pun segera mencari sumber suara tangis itu. Tak berapa lama kemudian, mereka menemukan seorang perempuan tergeletak sambil memeluk bayi. Raden Panji pun tersentak kaget setelah mengetahui bahwa perempuan itu adalah istrinya. Ia tak kuasa lagi menahan rasa sedih sehingga tak terasa air matanya menetes keluar dari kedua kelopak matanya.
“Oh, Tuhan! Sungguh malang nasib istriku,” rintih Raden Panji.
Baru saja Raden Panji mengucapkan rintihan hatinya, tiba-tiba petir menyambar-nyambar. Di sela-sela suara petir itu terdengar suara dari langit.
“Wahai, Raden Panji! Buatlah peti untuk istrimu. Setelah itu, kamu hanyutkan dia ke laut. Atas kuasa Tuhan, kelak kalian akan bertemu kembali!” demikian pesan suara itu.
Mendengar suara itu, Raden Panji segera memerintahkan para pengawalnya untuk membuat peti lalu memasukkan istrinya ke dalam peti itu. Usai menghanyutkan peti itu ke laut, Raden Panji kembali ke istana dengan menggendong putranya. Ia memberi nama putranya itu Raden Megatsih.
Sementara itu, di tempat lain, istri Raja Daha sedang mandi di pantai. Ketika melihat sebuah peti hanyut terbawa gelombang, ia segera menyuruh beberapa pengawal istana untuk mengambil peti itu. Alangkah terkejutnya sang permaisuri setelah membuka peti itu. Ia melihat seorang putri cantik terbaring di dalamnya. Putri itu tidak lain adalah Cilinaya yang telah hidup kembali. Akhirnya, ia membawa Cilinaya ke istana dan mengangkatnya sebagai anak.
Beberapa tahun kemudian, Raja Daha mengadakan pesta sabung ayam di istana. Raja Daha mempunyai seekor ayam jantan sangat tangguh yang belum pernah terkalahkan. Pada pesta kali ini, Raja Daha mempertaruhkan separuh harta kekayaannya. Peserta dari berbagai penjuru negeri pun berdatangan untuk mengalahkan ayam jagoan Raja Daha, tak terkecuali Raden Megatsih yang telah beranjak dewasa. Putra Raden Panji itu juga mempunyai ayam yang sakti.
Saat yang dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat Keling pun tiba. Pesta sabung ayam itu segera dimulai. Pesta itu sangat meriah. Para penonton bersorak-sorai menyaksikan pertarungan ayam-ayam aduan tersebut. Sudah puluhan ayam yang telah beradu, namun belum seekor ayam pun yang mampu mengalahkan ayam jagoan Raja Daha. Kini, giliran ayam Raden Megatsih yang akan beradu dengan ayam Raja Daha. Rupanya, ayam Raden Megatsih sangat sakti sehingga dapat mengalahkan ayam Raja Daha dengan mudah. Setelah memenangkan pertarungan itu, ayam Raden Megatsih berkokok.
“Do do Panji kembang ikok Maya”,
Artinya: “Ayahku Panji, Ibuku Cilinaya.”
Cilinaya yang mendengar dan mengerti maksud kokok ayam itu segera memeluk Raden Megatsih.
“Oh, Putraku! Ketahuilah, aku ini Ibumu, Cilinaya,” ungkap Cilinaya.
Raden Megatsih membalas pelukan ibunya dengan erat. Rasa haru pun menyelimuti hati kedua ibu dan anak itu. Setelah itu, Raden Megatsih pulang menemui ayahnya dan menceritakan pertamuannya dengan sang ibu. Alangkah bahagianya hati Raden Panji mendengar berita gembira itu. Tanpa membuang-buang waktu, Raden Panji bersama putra dan kedua orang tuanya segera ke istana Kerajaan Daha untuk menemui Cilinaya.
Di hadapan Raja Daha dan seluruh keluarga istana Daha, Raden Panji menceritakan semua kisah hidupnya sehingga terungkaplah semua rahasia yang tidak mereka ketahui selama ini. Raja Daha pun mengerti bahwa Cilinaya adalah putrinya yang dulu diterbangkan angin dan ditemukan oleh si penjaga taman. Demikian pula Raja Keling baru menyadari bahwa ternyata menantunya yang pernah ia bunuh itu adalah seorang putri raja yang merupakan kemenakannya sendiri. Ia pun meminta maaf kepada Cilinaya atas kesalahan yang telah diperbuatnya. Akhirnya, dengan perkawinan Raden Panji dari Kerajaan Keling dengan Putri Cilinaya dari Kerajaan Daha, maka semakin eratlah hubungan kekerabatan antara kedua kerajaan tersebut. Raden Panji dan Cilinaya pun hidup bahagia bersama seluruh keluarganya.
* * *
Demikian cerita Cilinaya dari daerah Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas di antaranya adalah akibat buruk dari sifat tidak menepati janji. Sifat ini tercermin pada sikap dan perilaku Raja Daha yang tidak memenuhi syarat janjinya ketika membawa nazarnya. Akibatnya, putrinya yang masih bayi diterbangkan angin puting beliung sehingga mereka harus berpisah, walaupun pada akhirnya mereka bertemu kembali. Pesan moral lainnya adalah bahwa hendaknya kita tidak meremehkan orang lain sebelum mengenal lebih dalam tentang diri orang itu. Sifat ini terlihat pada Raja Keling yang mengira Cilinaya berasal dari keluarga orang biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar